Cari Blog Ini

Jumat, 27 Januari 2012

analisi uu no. 23 tahun 2003 tentang pemilihan umum

ABSTRAK

Dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik bagi bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu untuk menjamin pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan, perlu disusun suatu undang-undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan suatu rangkaian dengan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dilaksanakan sekali dalam 5 tahun. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat akan memberikan legitimasi yang kuat kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan negara.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta perangkatnya sebagai penyelenggara pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah juga penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang massa kerjanya disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini. Ketentuan tentang KPU beserta perangkatnya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD berlaku juga dalam UU ini dan ketentuan yang belum diatur dalam UU No.12 tahun 2003 diberlakukan ketentuan dalam UU ini.
    Dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum bukan hanya mengatur tentang pemberian sanksi administrasi saja tetapi juga terdapatnya pengaturan tentang pemberian sanksi pidana pada pelanggar uu pemilihan umum ini. Itu dapat terlihat dari adanya ketentuan pidana yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum. Yang menjadi pertanyaan apakah yang menjadi alasan adanya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan non pidana khususnya UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
    Setelah runtuhnya Orde Baru, Indonesia menghadapi masa transisi menuju  orde yang lebih baru lagi atau biasa disebut dengan orde Reformasi. Berdasarkan  namanya yaitu Reformasi, berarti Indonesia sedang berada diwilayah perubahan  baik itu perubahan sistem pemerintahan, ekonomi, maupun politik. Bagi para ahli  dan praktisi, puncak simbolik perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia  setidaknya berkaitan dengan dua hal, yaitu: konstitusi dan lembaga kepresidenan.  Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang selama Orde Baru cenderung  disakralkan, sekarang sudah mengalami proses desakralisasi melalui perubahan  pertama yang dilakukan dalam Sidang Umum MPR pada bulan Nopember 1999. 
Alasan untuk mengamandemen UUD 1945 adalah menutup kemungkinan  terbuka kembali peluang berkembangnya penyelenggaraan Negara yang kurang demokratis sebagaimana yang telah terjadi pada masa Orde Baru, penyempurnaan  konstitusi melalui amandemen diharapkan mampu mengawal proses transisi era yang lebih demokratis.
Perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru yang  menurut para ahli dan praktisi juga penting adalah mengenai lembaga  kepresidenan, baik itu mengenai pembagian tugas dan kewenangan Presiden dengan Wakil Presiden, ataupun mengenai syarat calon Presiden hingga pemilihan Presiden yang langsung dipilih oleh rakyat dalam satu paket dengan Wakil Presiden.
Bagi rakyat yang terpenting adalah sistem kepresidenan yang secara kasat  mata dapat dilihat sendiri oleh mereka, baik mengenai kepribadiannya,  intelektualitas dan kemampuan manajerialnya, serta ketulusan dan kinerja  kepemimpinannya, yang dapat memberikan harapan dan optimisme, dan sekaligus  mengundang kepercayaan dari seluruh rakyat untuk memberikan dukungan. Didalam Undang-undang Republik Indonesia 1945 pasca amandemen,  peraturan mengenai pemilihan Presiden secara langsung terdapat pada Pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga yang berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih  dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Sedangkan tata cara  pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lajut diatur dalam  Undang-undang (Pasal 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945).
Pada pemilihan Presiden tahun 2004, Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini merupakan sejarah bagi ketatanegaraan Indonesia didalam memilih Presiden  dan Wakil Presiden, karena pemilihan langsung tersebut baru pertama kalinya  dilaksanakan di Indonesia. Sedangkan Undang-Undang nomor 23 Tahun 2003  menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan tata cara pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004. 
Dalam Perundangan–undangan pidana positif, sebagai satu bidang hukum yang menggunakan sistem sanksi sebagai penguatnya, ialah sanski yang bersifat kepidanaan. Sanksi ini akan menjadi tumpuan harapan, manakala sanksi-sanksi dalam bidang hukum lainnya tidak mampu merubah bentuk-bentuk perilaku yang bersifat soial menjadi taat terhadap norma-norma hukum yang mengaturnya. Hukum pidana positif di indonesia selama ini menganut dua jalur sistem ialah sistem pidana dan sistem tindakan.
Dengan sistem pidana dimaksudkan sebagai suatu sistem sanksi  dimana pihak yang melanggar norma-norma undang- undang pidana diancam dengan seperangkat pidana yang bervariasi dari bentuk pidana pokok dan pidan tambahan. Sedangkan sistem tindakan ialah suatu sistem perlindungan masyarakat terhadap bentuk perbuatan yang dilakukan seseorang yang bersifat sosial dan pelakunya memiliki sifat-sifat/kondisi khusus, yang tidak memungkinkan digunakannya sistem sanski pidana.
Dalam UU 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum juga memuat tentang ketentuan pidana padahal UU ini bukanlah UU pidana melainkan UU administratif tetapi mengatur juga mengenai ketentuan pidana.


1.2    Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini maka permasalahan yang hendak dijawab adalah:
1.2.1  Bagaimana analisa mengenai keberadaan Aspek pidana dalam  pelaksanaan Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil    Presiden.
1.2.2    Bagaimanakah Pelaksanaan Ketentuan Aspek Pidana yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan  Wakil Presiden.
1.2.3    Apakah Keberadaan Aspek Pidana tersebut dapat berupa pengaturan yang menghasilkan suatu sifat kepastian hukum atas pelanggaran yang terjadi.

1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.3.1    Untuk mengetahui Aspek hukum pidana yang terdapat di dalam Undang-undang
1.3.2    Untuk melihat sejauh mana pengaturan pidana yang terkandung didalam Undang-Undang yang berlaku.
1.3.3      Untuk Mengetahui Penyebutan subjek yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 dalam hal pemidanaannya.

1.4    Manfaat Penulisan

Dalam penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan mahasiswa pada umumnya mengenai Aspek Pidana Dalam Perundang-undangan yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan khususnya menyumbangkan bekal pengetahuan mengenai pelaksanaan dan pengaturannya yang didalamnya terdapat subjek yang bersifat khusus .
1.5    Metode Penulisan

    Metode Penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah Tinjau Pustaka dan Normatif, sehingga isi makalah dapat dimengerti dan dipahami oleh mahasiswa.


















BAB II
PEMBAHASAN

          Analisis
a.    Alasan dimuat nya ketentuan Pidana dalam UU no. 23 tahun 2003 tentang pemilihan umum
    Pada dasarnya UU No. 23 Tahun 2003 merupakan peraturan perundang-undangan non pidana tetapi terdapat pengaturan mengenai ketentuan pidana di dalamnya. Alasan adanya pengaturan ketentuan pidana di dalamnya karena pada dasarnya masyarakat Indonesia akan taat hukum apabila memiliki sanksi pidana di dalamnya. Ketentuan pidana pada dasarnya boleh saja dimuat dalam peraturan perundangan non pidana tetapi ini merupakan cara terakhir dalam memberikan sanksi ataupun hukuman terhadap pelaku pelanggaran dan kejahatan di bidang pemilihan umum. Sebelum mengambil cara penyelesaian masalah mengunakan ketentuan pidana haruslah terlebih dahulu menggunakan sanksi administrasi yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan kata lain ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang sebaiknya menjadi jalan atau langkah akhir dalam menyelesaikan masalah mengenai pemilihan umum.
b.    Pembatasan Pidana
    Dalam UU No. 23 Tahun 2003 terdapat batasan sanksi pidana di dalamnya yaitu batasan minimum dan maksimum. Terdapat pada pasal 89 : 1,3 ; Pasal 88:1.
c.    Jenis Sanksi Pidana
    Jenis sanksi yang digunakan dalam UU no. 23 Tahun 2003 yaitu:
Double track yaitu sistem memutuskan penjatuhan sanksi pidana menggunakan lebih dari satu sanksi pidana yang berupa sanksi pidana dan administratif.

d.    Penyebutan Subjek
Pengertian subyek hukum (rechts subyek) menurut Algra dalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedengkan pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak.
Dalam UU No. 23 Tahun 2003 Penyebutan subjek ada yang bersifat umum yaitu ketentuan pidana yang diundangkan di kenakan kepada masyarakat umum ataupun kepada siapa saja, hal ini dikarenakan terdapat kata “Setiap Orang ( Pada Pasal 88 :1-6, 89 : 1-3, 89 : 5-8, 90 : 1-8, 91:1-4). Pada umumnya kebanyakan penyebutan subjek yang digunakan adalah bersifat umum tetapi terdapat pula penyebutan subjek yang bersifat khusus yaitu terdapat dalam pasal 89 : (4) “Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa atau  sebutan  lain  yang  dengan  sengaja  melanggar  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  40  diancam  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  1  (satu)  bulan  atau  paling  lama  6  (enam)  bulan  dan/atau   denda   paling   sedikit   Rp600.000,00   (enam   ratus   ribu   rupiah)   atau   paling   banyak  Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)”. Olehkarena adanya Penyebutan setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional mengartikan telah ada subjek tertentu yang diatur dalam ketentuan pidana UU No. 23 Tahun 2003. 

e.    Delik Pidananya
    Dalam UU No. 23 Tahun 2003 perbuatan pidana kebanyakan didasarkan oleh “kesengajaan”. Itu dapat kita lihat adanya kata “dengan sengaja” dalam setiap pasalnya yang tercantum. Tetapi terkhusus untuk Pasal 92 : “Jika  tindak  pidana  dilakukan  dengan  sengaja  oleh  penyelenggara  atau  Pasangan  Calon,  ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang tersebut dalam pasal yang bersangkutan”. Dalam pasal ini disebutkan bahwa adanya pengecualian terhadap orang yang terkait langsung dalam pemilihan umum seperti penyelenggara atau Pasangan Calon, karena menurut kelompok kami mereka diaanggap telah mengetahui tentang peraturan dalam pemilu. Jadi penjatuhan sanksi yang diberikan ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan oleh karena dianggap dapat menguntungkan dan merugikan pihak tertentu.
    Selain delik kesengajaan dalam UU No. 23 Tahun 2003 terdapat pula pengaturan tentang delik kelalaian, yaitu pada pasal 93 ayat 3 “Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara  yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling  lama  2  (dua)  bulan  dan/atau  denda  paling  sedikit  Rp100.000,00  (seratus  ribu  rupiah)  atau  paling  banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”. Dalam pasal ini terdapat delik kelalaian yang tetap dikenakan sanksi pidana terhadap kelalaian yang menyebabkan kerusakan dan kehilangan hasil pemungutan suara.
f.    Mekanisme Pemidanaan
    Dalam hal mekanisme pemidanaan yang dilakukan kepada pelanggar ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2003 dipersamakan dengan menggunakan mekanisme pemidanaan yang ditentukan oleh KUHP. Terdapat dalam pasal 41 : 3. Tetapi berdasarkan ketentuan bahwa terlebih dahulu dilakukan penjatuhan sanksi administratif kepada pelaku pelanggar UU No. 23 Tahun 2003 ini dan yang menentukan dan melakukan mekanisme sanksi administratif adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

g.    Jenis Tindak Pidana
Dalam KUHP tindak Pidana terbagi atas 2 kelompok yaitu :
1.    Pelanggaran
2.    Kejahatan
Menurut kelompok kami dalam UU No. 23 Tahun 2003 terdapat 2 jenis pengelompokan tindak pidana yaitu
•    terdapat tindak pidana pelanggaran, terdapat dalam (pasal 88 : 2, Pasal 89 :1-4, Pasal 90 : 4,7,dan 8, Pasal 91 : 1)
•    terdapat pula tindak yang dikelompokkan sebagai tindak pidana Kejahatan, terdapat dalam (pasal 88 : 1,3-6 ; pasal 89 : 5,6,8 ; Pasal 90 : 1,2,3,5,6 ; Pasal 91 : 2,4)

h.    Sanksi Administratif
    Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pada dasarnya ketentuan sanksi pidana ini merupakan alat terakhir dalam melakukan pengaturan penjatuhan sanksi pada orang yang melanggar, karena apabila tindakan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan cara pemberian sanksi administratif.
Sanksi administatif dapat berupa
1.    Pasal 41 ayat 2 : sanksi yang diberikan pada penyelenggara kampanye yang melanggar  ketentuan pidana dalam perundang-undangan.
a. diberikan peringatan tertulis
b. Penghentian kegiatam Kampanye.
2.    Pasal 42 ayat 2 : Sanksi yang diberikan kepada pasangan calon yang melanggar ketentuan tindak pidana dalam UU No. 23 Tahun 2003. Sanksi nya ialah sanksi pembatalan sebagai pasangan calon.










BAB III
PENUTUP
3.1     KESIMPULAN
    Menurut Kelompok kami Ketentuan Pidana dalam peraturan perundang-undangan non pidana khususnya UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan Umum adalah sah-sah saja, karena pada dasarnya kebiasaan adat yang digunakan bangsa Indonesia dapat mengikuti hukum jika adanya sanksi yang diberikan dalam pelanggarannya serta untuk menjamin kepastian hukum terhadap asas legalitas.
    Terkhususnya pada UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum telah kami analisis beberapa ketentuan yang digunakan seperti:
-    Penyebutan subjek secara Umum dan ada juga secara khusus
-    Sistem pemidanaannya menggunakan single dan double track.
-    Mengenal batas minimum
-    Mekanisme pemidanaan berdasarkan KUHP
-    Adanya tindak pidana pelanggaran dan kejahatan
-    Adanya delik kesenggajaan dan kelalaian
-    Mengatur terlebih dahulu tentang sanksi administratif

3.2.     SARAN

Kelompok kami menyarankan bahwa penegak hukum dalam pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum yang termasuk juga KPU sebagai penyelenggaraannya haruslah memahami penggunaan ketentuan pidana yang diatur. Ketentuan pidana hendaklah menjadi langkah akhir dalam penyelesaian masalah pelanggaran tentang pemilihan Umum, karena pada saat ini perkembangan kemampuan dan politik kepentingan membuat para penguasa dan penyelenggara pemilihan umum membuat ketentuan pidana menjadi senjata awal dalam pemberantasan pelanggaran – pelanggaran dan kejahatan- kejahatan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum.
DAFTAR PUSTAKA


-    Muladi, dan Nawawi, Barda Arif, Teori-Teori Kebijakan Pidana, Alumni, 1992.
-    Sunaryo, Sidik, Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, 2004
-    Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, 2008.
-    Hamzah, Andi, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, 1991
-    Soekanto, soerjono, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1982
-    Otje Salman, R, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni Bandung, 1989.
-    Undang-Undang No. 31 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum.