Cari Blog Ini

Senin, 14 November 2011

Delik khusus luar KUHP



HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS

A.    Pengertian


Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah  UU Pidana[1] yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus.
            Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku  terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.
Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan  berlaku  kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu.  Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang  mengatakan :
“ Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri”
UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penya-lahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.      


B. Dasar hukum dan kekhususan.
UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahn 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002.
Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ; Untuk orang/golongan tertentu
Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang  dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.
Dasar Hukum UU Pidana Khusus mdilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
  1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
  2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena  KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).












  Perundang-undangan Pidana :


  1. UU pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
  2. Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana  terhadap aturan yang berada di luar hukum pidana umum


Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada  5 substansi.
    1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No 3/2004).
    2. UU yang memuat ketentuan pidana, makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU No 23/20020, UU Nov 26/2000).
    3.  UU Pidana, maksudnya undang-undang yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003)
    4. UU Hukum Pidana adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-undang ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang acara pidana). Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP, KUHP Militer)
Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan  Hukum administrasi
( HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan).
Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
  1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
  2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena  KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).

C. Kekhususan T.P. Khusus.

Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap hukum pidana  umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana formal.
Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan / orang-orang tertentu.



1.      Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang Hk. Pidana Materil.        
(Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan HPU dan dpt berupa menentukan sendiri yg sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketntuan khusus (ket.khs)

1.1.  Hukum Pidana bersifat elastis (ket.khs)
1.2.  Percobaan dan membantu   melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman. (menyimpang)
1.3.  Pengaturan tersendidiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran  (ket. khs)
1.4.  Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstera teritorial). (menyimpang/ket.khs)
1.5.  Sub. Hukum berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan   perekonomian negara. (ket.khs)
1.6.   Pegawai negeri merupakan sub. Hukum tersendiri.(ket. khs).
1.7.  Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain  itu menetukan menjadi tindak pidana. (ket.khus).
1.8.  Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi. (menyimpang)
1.9.  Perampasan barang bergerak , tidak bergerak (ket. khs)
1.10.  Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU    itu.(ket.khs)
1.11.  Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs)
1.12.  Adanya ketentuan  yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi. (ket.khs)
1.13.  Tindak pidananya dapat bersifat politik (  ket.khs).
1.14.  Dapat pula berlaku asas retro active 

2. Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal.

1.      Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa[2], Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[3]
2.      Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain;
3.      Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa TP Korupsi.
4.      Penuntutan Kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara;
5.      Perkara pidana Khusus di adili di Pengadilan khusus (HPE);
6.      Dianutnya Peradilan In absentia;
7.       Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank;
8.      Dianut Pembuktian terbalik;
9.      Larangan menyebutkan identitas pelapor;
10.  Perlunya pegawai penghubung;
11.  Dianut TTS dan TT

D. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh  : UU No 9 tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika  merupakan tindak pidana khusus. Setelah UU No 9 tahun 1976 dicabut dengan UU No 22 tahun 1997 tidak terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi bagian tindak pidana khusus. Demikian juga UU No 32 tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa  telah dicabut dengan UU No 24 tahun 1999 tentang Lalu Linyas Devisa dan Sistem Nilai Tukar Uang. Sehingga  UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan tindak pidana khusus.
            Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus :
1.      Hukum Pidana Ekonomi (UU No 7 Drt 1955)
2.      Tindak pidana Korupsi
3.      Tindak Pidana Terorisme.
Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang lebih khusus dari kedua tindak pidana  khusus lainnya. Tindak pidana ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum dan pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya Jaksanya harus jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera ekonomi dan hakim harus hakim ekonomi demikian juga pengadilannya harus pengadilan ekonomi.

ad 1. Hukum Pidana Ekonomi
I.      Pengertian, dan dasar Hukum
UU No 7 Drt 1955 tidak memberikan atau merumuskan  dalam bentuk defe-nisi mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi  ialah pelanggaran sesuatu keten-tuan dalam atau berdasarkan Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e.. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana ekonomi.
      Hukum pidana ekonomi diatur dalam UU No 7 Drt 1955[4] tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tujuan dibentuknya UU No 7 Drt 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam peraturan perundang-undangan  ten-tang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan hukum pida-na ekonomi oleh karena UU No 7 Drt 1955 mengatur secara tersendiri perumusan Hukum Pidana formal disamping adanya ketentuan hukum pidana formal dalam Hukum pidana umum (hukum acara pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap ketentuan hukum pidana materil (KUHP).

II.    Kekhususan Hukum Pidana Ekonomi

Hukum Pidana Ekonomi mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pidana khusus yang lain..Menurut Andi Hamzah[5] kekhususan yang dimaksud adalah:
a. Peraturan hukum pidana ekonomi bersifat elastis mudah berubah-   ubah;
b.      Perluasan subjek hukum pidana (pemidanaan badan hukum);
c.       Peradilan in absentia;  Peradilan in absentia  berlaku terhadap orang yang sudah meninggal dunia dan terhadap orang yang tidak duikenal. Untuk mengetahui siapa orang yang tidak dikenal ini pelajari UU No 7 Drt 1955 dan UU No 15 Prp tahun 1962.
d.      Percobaan dan membantu melakukan pada delik ekonomi;
e.       Pembedaan delik ekonomi berupa kejahatan dan pelanggaran;
f.       Perluasan berlakunya hukum pidana
g.      Penyelesaian di luar acara (schikking).[6]
h.      Perkara TPE diperiksa dan diadili di Pengadilan Ekonomi. Berarti pengadilannya khusus Pengadilan Ekonomi. Perlu diketahui bahwa sampai sekarang (tahin 2007) belum ada Pengadilan ekonomi secara fisik akan tetapi fungsinya tetap ada sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No 7 Drt 1955, bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang Jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk mengadili perkara tindak pidana ekonomi.  Menurut Ps 35 ayat (2) Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Ekonomi.
i.        Hakim, Jaksa dan Panitera adalah hakim, jaksa, dan Panitera yang diberi tugas khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak  pidana ekonomi, berarti bukan hakim, jaksa dan Panitera umum.
j.         Hakim, jaksa pada pengadilan ekonomi dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi.
k.        Pengadilkan ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi


III.             Perumusan Tindak Pidana Ekonomi 

Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e Pasal 1 sub 1e[7] sudah mengalami beberapa kali perubahan. Tindak pidana pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33 UU No 7 Drt 1955.  Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah   pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebutkan pelanggaran itu sebagai pelanggaran tindak pidana ekonomi.   Tindak pidana ekonomi dalam UU No 7 Drt 1955 ini lebih bersifat  hukum administrasi. Secara teliti pelanggaran terhadap UU No 7 Drtr 1955 disebut sebagai tindak pidana ekonomi oleh karena berupa kejahatan yang meru-gikan keuangan dan perekonomian negara. Berdasarkan  ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e UU No 7 Drt 1955 tindak pidana ekonomi ini terdapat dua kelompok. Pertama tindak pidana yang berasal dari luar UU No 7 Drt 1955, yaitu undang-undang atau staatblad sebagaimana disebutkan dalam Ps 1 sub 1e dan Ps 1 sub 3e. Kedua tindak pidana yang dirumuskan sendiri yaitu Ps 26, Ps 32 dan Ps 33 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 2e.

Tindak pidana berdasarkan Ps 26.
            Tindak pidana Ps 26 merupakan pelanggaran karena tidak mengindahkan tuntutan pegawai pengusut[8] (selanjutnya disebut penyidik). Ps 26 merumuskan dengan segaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut, berdasarkan suatu aturan dari undang-undang ini.
            Bagi penyidik untuk dapat diberlakukan ketentuan Ps 26 harus diketahui dulu bahwa yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi bukan tindak pidana lain. Sebab apabila yang disidik itu bukan tindak pidana ekonomi  bagi yang tidak mengindahkan tuntutan penyidik dikenakan ketentuan Ps 216 KUHP. Jadi apabila yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi maka orang yang tidak memenuhi tuntutan penyidik diberlakukan Ps 26. Tuntutan sebagai mana dimaksud dalam Ps 26 adalah :
a.Tuntutan menyerahkan untuk disita semua barang yang dapat digunakan untuk mendapatkan keterangan  atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan (Ps 18 ayat (1).
b.Tuntutan untuk diperlihatkan segala surat yang dipandang perlu nuntuk dke-tahui penyidik agar penyidik ini dapat melakukan tugas dengan sebaik baik -nya. (Ps 19 ayat (1)
c.       Tuntutan untuk membuka bungkusan barang-barang-jika hal itu dipandang perlu  oleh penyidik untuk memeriksa barang-barang itu (Ps 22 ayat (1).

Tindak Pidana berdasarkan  Pasal 32
Tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Ps 32 ini adalah tindak pidana yang berhubungan dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan :
a.    pidana tambahan seperti termuat dalam Pasal 7 ayat (1) a,b, atau c;
d.      tindakan tatatertib seprti dalam Pasal 8;
e.        suatu peraturan seperti terdapat dalam Pasal 10;
f.        tindakan tatatertib sementara. Seperti pada Pasal 27 dan 28
g.      atau menghindari ketentuan a,b,c atau d tersebut di atas.
Rumusan lengkap Ps 32 sbb:
Barang siapa sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukuman tambahan sebagai tercantum dalam Ps 7 ayat (1) a, b atau c, dengan suatu tindakan tatatertib seperti tercantum dalam Ps 8, dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam Ps 10 atau dengan suatu tindakan tatatertib sementara atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tatatertib, peratur-an, tindakan tatatertib sementara seperti tersebut di atas.
Menurut pembuat UU yang dimuat dalam penjelasan Ps 32 ini agar dengan mudah dapat dipaksakan kepada tang bersalah untuk memenuhi pidana tambahan dan sebagi- nya, sebab pengusaha yang memnbandel banyak mempunyai alat untuk menghindari diri dari dibebankannya pelbagai pidana tambahan.

Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 33

Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 33 ini mirip dengan ketentuian Pasal 32 di atas. Perbedaannya terdapat pada unsur menarik bagian – bagian kekayaan untuk dihindar-kan dari beberapa tagihan atau pelaksanaan hukuman, tindakan tatatertib, atau tindak-an tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan UU No 7Drt 1955.
Rumusan secara lengkap sbb:
Barang siapa dengan sengaja, baik sendiri maupun dengan perataraan orang lain , menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini.
            Ps 33 ini dimaksudkan untuk dapat mengatasi  jika orang yang dengan sengaja baik sendiri maupun perantaraan orang lain:
  1. menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan suatu pidana atau
  2.  tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan kepada-nya berdasarkan UU No 7 drt 1955, karena sering orang mengghindari dari hukuman kekayaan itu.
Berarti untuk dapat dukenakan Pasal 33 hanya terbatas terhacdap :
    1. tagihan-tagihan;
    2. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib;
    3. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib sementara, yang kesemuanya a,.b,c harus berdasarkan UU No 7 Drt 1955.
Menurut Karni apa yang dimaksudkan dengan menarik bagian tagihan-tagihan dalam Ps 33 adalah mungkin sama dengan mencabut barang dari harta bendanya dalam
Ps 399 KUHP.  Ps 399 KUHP merupakan kejahatan  yang dilakukan oleh pengurus atau pembantu suatu korporasi yang dinyatakan jatuh pailit yang diperintahkan hakim untuk menyelesaikan urusan perniagaannya, akan tetapi ia mengurangi dengan jalan penipuan terhadap hak penagih. Kegiatan yang dilakukannya :
  1. ... menyembunyikan keuntungan atau melarikan suatu barfang dari harta bendanya;
  2. memindahkan sesuatu barang baik dengan menerima uang .....
  3. menguntungkan salah seorang yang berpiutang padanya dengan jalan apapun juga pada waktu jatuh pailit atau penyelesaian urusan dagang,...
  4. tidak mencukupi kewajibannya dalam mencatat segala sesuatu...

Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Ps 1 sub 3e

Pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang oirtu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi.
            Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal ini hingga tahun 1965 ada tiga undang-undang yang menyatakan pelanggaran terhadap undang-undang itu sebagai tindak pidana ekonomi.
  1. UU No 8 Prp tahun 1962  LN No 42 tahun 1962 tentang Perdagangan barang-barang dalam pengawasan.
  2. UU No 9 Prp tahun 1962  LN No 43 tahun 1962 tentang Pengendalian harga;
  3. UU No 11 tahun 1965 LN No 54 tahun 1965 tentang Pergudangan.

 

IV. Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

            Peradilan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955  terdapat perbedaan dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan tindak pidana khusus maupun pada tindak pidana umum.  Tingkat pertama Peradilan tindak pidana ekonomi  diatur dalam Ps 35, Ps 36, Ps 37, Ps 38 Ps 39. Pada tingkat Banding diatiur dalam Ps 41, Ps 42, Ps 43, Ps 44, Ps 45 dan Ps 46.. Pada tingkat kasasi diatur dalam Ps 47, Ps 48.
Pada tingkat pertama, Ps 35 ayat (1) disebutkan bahwa pada tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Ps 35 ayat (2) dikatakan bahwa pengadilan pada tingkat pertama tindak pidana ekonimi adalah pengadilan ekonomi. Berdasarkan kedua ketentuan ini berarti bahwa dengan adanya semata-mata maka hakim, paniteradan jaksa  adalahb tugas khusus atau pengkhususan dari peradilan umum. Pengadilannya khusus hanya pengadilan ekonomi saja yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi bukan pengadilan negeri. Hanya lokasinya saja ada di pengadilan negeri. Ps 35 ayat (1) memberikan arti pengadilan ekonomi ada di pengadilan negeri. Pengadilan ekonomi itu timbul ketika pada saat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi. Fisiknya tidak nampak akan tetapi fungsinya ada.

Menurut Ps 36 seorang Hakim atau  Jaksa pada pengadilan ekonomi itu dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. Perlu diketahui ketentuan ini dike-hendaki pada tahun 1955 untuk mempercepat dan memberantas tindak pidana ekono-mi, ketika itu hakim di Indonesia tidak sebanding dengan tindak pidana yang ada.[9]. Oleh karena pada Ps 36 itu tidak disebut panitera berarti panitera tidak dapat dipeker-jakan lebih dari satu pengadilan ekonomi.

Untuk mengatasi kesulitan terhadap percepatan, penyelesiaan tindak pidana ekonomi maka dalam Ps 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan pengadilan ekonomi. Berarti dapat bersidang diluar wilayah hukum pengadilan negeri apabila pada pengadilan negeri dalam lingkungan peng-adilan tinggi itu tidak terdapat hakim atau jaksa yang khusus diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi.

 

Pada tingkat banding disebutkan Pada Ps 41 ayat (1) bahwa pada tiap-tiap pengadilan tinggi untuk wilayah hukumnya masing-masing diadakan pengadilan tinggi ekonomi yang diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi pada tingkat banding. Ketentuan ini mempunyai jiwa yang sama dengan Ps 35 ayat (1).

 

V. Badan-Badan Pegawai Penghubung.

            Sifat dari tindak pidana ekonomi mengancam dan merugikan kepentingan yang sangat gecompliceerd, sehingga orang biasa dan kadang-kadang Hakim dan Jaksa sering tidak mempunyai gambaran yang sebenarnya menyebabkan  timbul per-bedaan pendatpat antara jaksa dan hakim. Untuk mengatasi masalah yang berhubung-an dengan penyidikan, penuntutan dan peradilan  terhadap perkara tindak pidana ekonomi, diperlukan badan-badan pegawai penghubung.  Badan ini diangkat oleh menteri yang bersangkutan (terkait) berdasarkan  persetujuan Menteri Kehakiman.

Badan ini diwajibkan memberikan bantuan kepada penyidik, Jaksa, dan Hakim baik di luar maupun di dalam Pengadilan. Menteri yang bersangkutan maksudnya adalah menteri yang ada hubungannya dengan materi perkara tindak pidana ekonomi itu apakah yang diperlukan bantuan terhadap badan pegawai penghubung. Jika yang diperlukan itu mengenai lalu lintas devisa, berarti yang dimintakan itu dari Bank Indonesia, maka menteri yang bersangkutan adalah Menteri Keuangan. Pegawai Bank Indonesia dapat diangkat menjadi pegawai penghubung oleh Menteri Keuangan atas dasar persetujuan Menteri Kehakiman. Orang yang dapat diangkat adalah orang yang ahli dibidang perekonomian. Oleh karena sifatnya memberi bantuan saja bantuan ini tidak mengikat terhadap penyelesaian perkara tindak pidana perekonomia. Badan pegawai penghubung ini bukanlah sebagai saksi ahli sebagaimana dalam Ps 120 jo Ps 180 KUHAP.

 

VI.Tindakan Tatatertib Sementara


            Tindakan tatatertib sementara diatur dalam Ps 27 dan Ps 28 UU No 7 Drt 1955. Instansi yang berwenag mengambil tindakan tetatertib sementara ini adalah Jaksa sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1), dan Hakim sebagaimana diatur dalam Ps 28 ayat (1) UU No 7 Drt 1955. Selain kedua instansi ini tidak berwenang mengam- bil tindakan tatatertib sementara. Ketentuan Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1) telah diubah oleh UU No 26/Prp/1960. Secara akademik untuk dapat mengambil tindakan tatatertib sementara harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1)
Ketentuan Ps 27 ayat (1) sama dengan ketentuan Ps 28 ayat (1). . Apabila dikaji ketentuan kedua pasal itu terdapat 4 (empat) macam substansi, yaitu, syarat, waktu,  tujuan dan tindakan yang harus dilakukan  pengambilan tindakan tatatertib sementara.
Syarat pengambilan Tatatertib sementa adalah:
  1. ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan tersangka;
  2. ada keperluan untuk mengadakan tindakan-tindakan dengan segera terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar oleh tersangka

Waktu pengambilan  tindakan tetatertib sementara

  1. Bagi jaksa selama pemeriksaan dimuka pengadilan belum dimulai (Ps 27 ayat (1)
  2. Bagi hakim sebelum pemeriksaan di muka pengadilan .(Ps 28 ayat (1)
Tujuan pengambilan  tindakan tetatertib sementara
  1. supaya tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
  2. supaya  tersangka berusaha agar barang-barang yang disebut dalam perintah untuk diadakan tindakan tatatertib sementara yang dapat disita, dikumpulkan dan disimpan ditempat yang ditunjuk dalam perintah tersebut.
Tindakan  Melaksanakan  Tindakan Tetatertib Sementara
  1. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dimana pelaggaran hukum disangka telah dilakukan;
  2. penempatan perusahaan tersangka dimana tindak mpidana ekonomni itu disangka telah dilakukan,  dibawah pengampuan
  3. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu, atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada tersangka berhubung dengan perusahaan itu.
Pelaksanaan Pengambilan Tindakan Tatateretib Sementara
            Apabila hakim telah menerima berkas perkara pidana eko-nomi harus diperha-tikan apakah Jaksa sudah atau belum meng-ambil tindakan tatatertib sementara  sesuai dengan ketentuan syarat, waktu dan tujuan. Jaksa setelah menganbil tindakan tata-tertib sementara berdasarkan Ps 27 ayat (2) dapat mengeluarkan perintah-perin-tah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Apabila Jaksa sudah melaknakan, maka hakim berdasarkan ketentuan Ps 28 ayat (3) dapat mengambil keputusan :
a. memperpanjang tindakan tatatertib sementara satu kali selama lamanya 6 (enam)
    bulan atas dasar hakim karena jabatannya, atau tuntutan jaksa.
b. mencabut atau merubah tindakan tatatertib sementara yang diambil Jaksa atas da  -sar hakim karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa, atau permohonan terdakwa.
Tindakan tataertib sementara berdasarkan ketentuan Ps 27 ayat (3) dapat diubah atau dicabut oleh Jaksa atau Hakim asal perkara tindak pidana ekonomi itu belum diputus oleh Hakim.
Jika Jaksa belum mengambil tindakan tatatertib sementara, maka Hakim berdasarkan Ps 28 ayat (1) dapat mengambil tindakan tatatertib sementara.  Setelah Hakim meng-ambil tindakan tatatertib sementara, hakim dapat mengeluarkan perintah-perintah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Tindakan tatatertib semntara yang diambil oleh hakim  dapat diperpanjang dengan satu kali selama-lamanya 6 bulan, atau diubah atau dicabut :
a.       oleh hakim karena jabatannya
b.      atas tuntutan jaksa
c.       atas permohonan terdakwa.
Mengingat tindakan tatatertib sementara kemungkinan dapat menim,bulkan kerugian yang besar,  maka berdasarkan Ps 31 mengatur ketentuan mengganti keru-gian jika tindak pidana ekonomi itu berakhir dengan:
a.       tidak dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tatatertib.
b.      dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tetatertib sehingga tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan dipandang terlalu berat.
Uang pengganti kerugian itu  dibebankan kepada kas negara. Lembaga yang berhak menghambil keputusan adalah pengadilan yang telah mengadili perkara tindak pidana ekonomi itu dalam tingkat penghabisan.

VII. Sanksi


            Sanksi terhadap Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan tindakan tatatertib . Sistem ini dikenal dengan istilah “Double Track System”. Sanksi Pidana berupa sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pi-dana ini sesuai dengan ketentuan Ps 10 KUHP. Sedangkan tindakan tatatertib seba-gaimana diatur dalam Ps 8 UU No 7 Drt 1955.
            Tindakan tetatertib berupa penempatan perusahaan siterhukum berada diba-wah pengampuan, kewajiban membayar uang jaminan, kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan dan kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat satu sama lain, atas biaya siterhukum apabila  hakim tidak menentukan lain.[10].
            Sanksai pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps 6 ayat (1). yaitu sanksi pidana penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternatif, maksudnya dijatuhkan dua  sanksi pidana pokok sekaligus (pidana penjara dan denda)  atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu.
            Perkembangan selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan pemberatan.
1.      UU No 8 Drt 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap keten-tuan Ps 1 sub 1e, memperberat ancaman hukuman yang terdapat dalam Ps 6 ayat 1 huruf a yaitu kata-kata lima ratus ribu rupiah diubah menjadi satu juta rupiah.
2.      UU No 5/ PNPS/ 1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap keten-tuan Hukum Pidana Ekonomi, tindak pidana korupsi[11], tindak pidana dalam buku ke II Bab I dan II KUHP,. dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya satu tahun [12] dan setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Untuk dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah, yaitu :
a.       memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu yang sesingkat singkatnya;
b.      menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara;
c.       melanjutkan perjuangan menentang imprealisme ekonomi politik (Irian Barat).
3.      UU No 21 /Peperpu/1959 memperberat ancaman hukuman pidana denda yang semulanya satu juta berdasarkan UU No 8/Drt/1958  dikalikan dengan 30, berarti dari satu juta menjadi 30 juta rupiah.. Jika tindak pidana itu dapat me-nimbulkan kekacauan dibidang perekonomian  dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan human mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda sebesar 30 kali jumlah yang ditetapkan pada ayat 1.Hakim harus menjatuhkan pidana secara kumulatif. 





TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (TINJAUAN UU No. 31 TAHUN 1999 Jo UU No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)

oleh agust hutabarat
  1. A. PENDAHULUAN
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
  1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
  2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
  3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
  4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

  1. B. PENGERTIAN KORUPSI
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :
  1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.
  2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
  3. 1.  Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan                    untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
2.  Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya);
3. Koruptor (orang yang korupsi).
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
  1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
  2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
  3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.

  1. PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:
1.  Korporasi  adalah  kumpulan  orang  dan  atau  kekayaan  yang  terorganisasi  baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2.  Pegawai Negeri adalah meliputi :
a.  pegawai      negeri      sebagaimana        dimaksud      dalam      Undang-undang   tentang
Kepegawaian;
b.  pegawai  negeri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Kitab  Undang-undang  Hukum
Pidana;
c.  orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d.  orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e.  orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3.  Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

  1. PENJATUHAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.

Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
  1. Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

  1. Pidana Penjara
  1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
  2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
  3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
  4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.

  1. Pidana Tambahan
  1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
  2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
  3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
  4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
  5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
  6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

  1. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
  1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
  2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
  3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
  4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.
  5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
  1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
  2. Perbuatan melawan hukum;
  3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
  4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

  1. PENUTUP
Dari uraian pengertian dan penyebab korupsi di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi sangat luas dan mengakar. Adapun akibat dari korupsi adalah sebagai berikut:
  1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah;
  2. Berkurannya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat;
  3. Menyusutnya pendapatan Negara;
  4. Rapuhnya keamanan dan ketahanan Negara;
  5. Perusakan mental pribadi;
  6. Hukum tidak lagi dihormati.



[1]               Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak pidana, dan berlakunya ketentuann hukum pidana. Khusus untukm hukum tindak pidana khusus diharuskan adanya indicator penyimpangan terhadaphukum pidana  materil dan juga formal.
[2] . Ketentuan dalam UU No. 31/ 1999 jo UU No 30/2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat melakukan penyidikan dan penuntutanTindak Pidana Korupsi., dapat mengambil alih perkara tindak pidana korupsi  baik pada tingkat penyidikan dan atau penuntutan (Ps 8 UU No 30/2002).
[3]  Menurut Hukum Pidana (KUHAP) penyidik adalah POLRI, PPNS tidak ada disebutkan badan lain.
[4]               UU No 7 Drt 1955 dikenal sebagai Hukum Pidana Ekonomi.
[5]               Andi Hamzah. 1983. Hukum Pidana Ekonomi. Erlangga Jakarta hlm 25- 42.
[6]               Schikking setrelah berlakunya UU No 10/1995 dan UU No 11/1999 tidak berlaku lagi.  Akan tetapi ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar sidang pengadilan diatur dalam Ps 82 KUHP sepanjang ancaman pidananya denda saja.
[7]               Tertulis sub 1e harus dibaca sub ke 1., demikian juga sub 2e dibaca sub ke 2 dst. Tindak pidana yang terdapat dalam Ps 1 sub 1e sudah beberapa kali diubah dan ditambah. Perubahan terakhir setelah Stb  No 240 tahun  1882 “Rechtenordonantie” dicabut oleh UU No 10 tahun 1995 dan UU No 11 tahun 1995.  Rechtenordonantie ini mengatur ketentuan tentang bea masuk dan keluar sehingga disebut dengan UU Bea.
Bacalah secara teliti ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e . Lalu cari yang mana tindak pidana itu yang telah dicabut dan UU mana yang mencabutnya.
[8]               Kata pengusut adalah istilah yang dikenal dalam HIR yang artinya  sama dengan penyidik dalam KUHAP.
[9]               RI merdeka baru sepuluh tahun. Rakyat Indonesia belum banyak yang dapat sekolah pada jenjang lebih tinggi. Pertama kali ada pendidikan untuk hakim dan Jaksa pada sekolah hakim dan jaksa. (SHD) setelah tahun 60 an.
[10]             Lihat buku Pengantar Hukum Pidana Ekonomi oleh R.Wiyono hlm 92-100. Sedangkan sanksi pidana tambahan lihat hlm 85-92.
[11]             Ketentuan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi pada waktu itu adalah Peraturan Penguasa Perang Pusat No Prt/Peperpu/0134/1958..
[12]             Berarti menganut sanksi pidana minimum khusus.

1 komentar: