Cari Blog Ini

Minggu, 06 November 2011

sengketa pegawai negeri dalam Peradilan Tata Usaha Negara

BAB I :  PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai aparatur negara mempunyai posisi sangat strategis dan peranan menentukan dalam menyelenggarakan pemerintahan dan pembangunan. Sebagai aparatur negara, PNS berkewajiban menyelenggarakan tugas pemerintahan dan pembangunan dengan penuh kesetiaan dan ketaatan kepada Pancasila, Undang-undang Dasar 1945, negara dan pemerintah. Untuk itu, PNS sebagai pelaksana perundang-undangan wajib berusaha untuk taat pada setiap peraturan perundang-undangan di dalam melaksanakan tugas kedinasan. Pemberian tugas kedinasan kepada PNS pada dasarnya merupakan kepercayaan dari atasan yang berwenang, dengan harapan bahwa tugas itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karenanya, setiap PNS wajib melaksanakan tugas kedinasan yang dipercayakan kepadanya dengan penuh pengabdian, kesadaran, dan tanggungjawab. Pemerintah melalui PP Nomor 30 Tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS, memberikan pembinaan kepada PNS yang diarahkan untuk menjamin penyelenggaraan tugas pemerintahan dan pembangunan secara berdaya guna dan berhasil guna, melalui atau berdasarkan sistem karir dan sistem prestasi kerja, yang dilakukan secara bertahap sejak pengangkatan, penempatan, pendidikan dan latihan, pemindahan, penghargaan, serta pemberhentian, dengan selalu mengacu kepada kode etik dan peraturan disiplin yang diberlakukan. Semua itu dilakukan dengan tujuan untuk mengoptimalkan kinerja sumber daya aparatur.
. Komisi Kepegawaian Negara sebagai lembaga yang menangani masalah sengketa kepegawaian dan diharapkan dapat memperjuangkan hak-hak PNS, hingga saat ini belum terbentuk, walaupun keberadaan komisi tersebut telah dituangkan dalam pasal 13 UU No. 43/1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, sementara KORPRI sendiri hingga saat ini belum mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan sengketa kepegawaian. Sekalipun demikian, pemerintah telah berupaya memenuhi kebutuhan suatu lembaga yang khusus bertugas menangani sengketa kepegawaian, sebagaimana dapat dilihat dalam pasal 35 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974, yang mengatur tentang “Peradilan Kepegawaian“. Karena sengketa kepegawaian menurut Sastro Djatmiko 1 , juga dapat timbul disebabkan penugasan oleh atasan dengan tugas tertentu, percepatan dan pensiunan pegawai, izin perkawinan,  . Sastro Djatmiko, “ Hukum Kepegawaian di Indonesia “, Djambatan, Jakarta, 1990, hlm. 48-52, lihat juga Sistematika Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, ada 8 (delapan) sub bidang dalam rangka pelaksanaan pembinaan PNS. perceraian dengan menyangkut hak-hak salah satu pihak, serta pemberian izin-izin lainnya. Selanjutnya, menurut Sastro Djatmiko, sengketa dibidang kepegawaian dalam penggolongannya yang lebih fleksibel, di bagi tiga yaitu : dalam hal keberatan terhadap suatu hukuman disiplin, dalam hal keberatan terhadap daftar pernyataan kecakapan tempat, dan dalam susunan kepangkatan . Itulah sebabnya, penyelesaian sengketa kepegawaian sedapat mungkin dilakukan dalam lingkup unit kerja di instansi yang mengeluarkan keputusan hukuman disiplin tingkat berat berupa “pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri dan tidak dengan hormat sebagai PEGAWAI NEGERI SIPIL” oleh pimpinan atau pejabat pembina kepegawaian baik di tingkat pusat maupun daerah. Bila hal ini terjadi, dapat ditempuh upaya banding administratif melalui gugatan sesuai mekanisme hukum yang berlaku yaitu melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Peradilan Administrasi atau “Administratieve rechtspraak” atau Judicial control of adminitrative action” sesungguhnya juga merupakan genus peradilan, karena tujuan pembentukan dan kedudukan suatu peradilan administrasi dalam suatu negara terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Mengacu pada Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, bagi Indonesia sebagai negara hukum, hak dan kepentingan perseorangan dijunjung tinggi, untuk itu kepentingan perseorangan harus seimbang dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Itulah sebabnya tujuan pembentukan peradilan administrasi secara filosofis adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan dan masyarakat, sehingga tercapai keseimbangan dan keselarasan antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau kepentingan umum. Kasus kepegawaian pada dasarnya merupakan kasus yang cukup menarik untuk dikaji, karena permohonan gugatan sengketa kepegawaian ke lembaga peradilan di beberapa kota besar, dari tahun ke tahun semakin meningkat dengan segala persoalan baru. Hal ini terjadi karena adanya sejumlah ketentuan dalam hukum kepegawaian yang terkadang tumpang tindih atau belum diatur dan belum dilengkapi dengan penjelasan dalam undang-undangnya. Kondisi demikian membuat penegak hukum memberikan penafsiran menurut persepsinya masingmasing sebagaimana dalam kasus arogan kekuasaan Bupati kepulauan selayar yang melakukan pemecatan secara sepihak kepada pegawai negeri sipil bernama Drs. MUH. ARSAD, MM.

1.2. Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini maka permasalahan yang hendak dijawab adalah:
1.2.1      Bagaimana analisa kasus peradilan kepegawaian yang terjadi pada Drs. Muh. Arsad , M.M.


1.3.    Tujuan Penulisan
                Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.3.1      Untuk mengetahui sistem peradilan tata usaha negara
1.3.2      Untuk mengetahui penyelesaian sengketa dalam peradilan tata usaha negara khususnya dalam penyelesaian sengketa kepegawaian
1.3.3          Untuk menyelesaikan tugas Peradilan Tata Usaha Negara

1.4.      Manfaat Penulisan
                                Dalam penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai Ilmu hukum umumnya dan khususnya menyumbangkan bekal pengetahuan mengenai Hukum Tata Usaha Negara lebih rinci mengenai kepegawaian.







B AB II  : PEMBAHASAN MASALAH


A.          Kasus
AROGANSI KEKUASAAN BUPATI KEPULAUAN SELAYAR

Benteng, 26 April 2011
Kepada Yth.
Bapak Presiden Republik Indonesia
di-
Jakarta
Perihal : Laporan Arogansi dan Kesewenang-wenangan
Kekuasaan Bupati Kepulauan Selayar
Saya yang bertanda tangan di bawah :
Nama Lengkap : Drs. MUH. ARSAD, MM
Tempat/tanggal lahir : Selayar, 5 Agustus 1965
Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil
N I P : 19650805 198603 1 022
Pangkat/Golongan Ruang : Pembina Tk. I, IV/b
A l a m a t : Jl. Sunu No. D Komplek Perumahan Pemda Bonehalang
Benteng Selayar, No. HP 081354657333
Perkenankan saya menyampaikan laporan kepada Bapak Presiden RI tentang apa yang saya alami terkait permasalahan saya sebagai Pegawai Negeri Sipil, sebagai berikut :

  1. Bahwa saya adalah Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar yang diberhentikan dari jabatan tanpa alasan yang sah oleh Bupati Kepulauan Selayar pada tanggal 5 Oktober 2010 dengan Keputusan Bupati Kepulauan Selayar Nomor : 821.2/160/X/BKD/2010 tanggal 05 Oktober 2010 tentang Pemberhentian Sdr. Drs. MUH. ARSAD, MM NIP 19650805 198503 1 022 Pangkat Pembina Tk. I Golongan Ruang IV/b Jabatan Kepala Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar (foto copy SK terlampir).
  2. Bahwa saya tidak menerima/keberatan atas pemberhentian dari jabatan tersebut karena tidak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang Kepegawaian yaitu Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 100 Tahun 2000 tentang Pengangkatan Pegawai Negeri Sipil Dalam Jabatan Struktural dan Pasal 23, Pasal 24, Pasal 25, Pasal 26, Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29, serta Pasal 30 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil, sehingga pada tanggal 20 Oktober 2010 saya mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar dan terdaftar dengan Nomor Perkara : 58/G.TUN/2010/PTUN Mks tanggal 20 Oktober 2010 (foto copy Gugatan terlampir).
  3. Bahwa pada saat memasuki sidang dengan agenda Pengajuan Bukti-Bukti, Bupati Kepulauan Selayar selaku TERGUGAT di Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar mengajukan “bukti palsu” berupa foto copy “kwitansi penerimaan uang oleh sdr. ROS MERY dari sdr. BAU IMANG senilai Rp.20.000.000 (Dua puluh juta rupiah)” untuk pembayaran pengurusan database dengan menempel tanda tangan saya sebagai pihak yang mengetahui pada bagian kiri bawah dari kwitansi tersebut. Sedangkan pada kwitansi asli tidak terdapat pihak yang mengetahui beserta tanda tangan saya (foto copy kwitansi asli dan kwitansi palsu terlampir).
  4. Bahwa pada tanggal 20 Desember 2010 saya telah melaporkan Bupati Kepulauan Selayar sebagai Tergugat atas pemalsuan kwitansi yang diajukan sebagai bukti di PTUN Makassar ke POLDA Sul-Sel dan tercatat dengan Tanda Bukti Lapor Nomor : LPB/334/XII/2010/SPK tanggal 20 Desember 2010, dan telah diproses oleh Kasat II Ekonomi Dit Reskrim Polda Sulsel dengan Penyidik AKBP Deni Hermana, Sik, MSi NRP 70070363 dan KOMPOL Muh. Syukri Hasan, SH sebagai Penyelidik dengan terbitnya Surat Pemberitahuan Hasil Penelitian Laporan Polisi Nomor : B/309/XII/2010/Dit Reskrim tanggal 30 Desember 2010 (foto copy surat terlampir).
  5. Bahwa pada tanggal 10 Januari 2011 dilakukan Sidang Pembacaan “PUTUSAN PENGADILAN” atas Perkara Nomor 58/G.TUN/2010/PTUN.Mks dan Majelis Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Makassar memenangkan saya sebagai Penggugat (copy Putusan PTUN terlampir) dan Bupati Kepulauan Selayar sebagai Tergugat mengajukan Banding pada tanggal 13 Januari 2011 dan saat ini proses Banding tersebut sementara berproses di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar.
  6. Bahwa saat ini Bupati Kepulauan Selayar bersama Sekretaris Daerah telah berusaha memberhentikan saya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan mencoba menerapkan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil khususnya Pasal 10 angka 9 huruf d “Pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai PNS bagi PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang sah selama 46 (empat puluh enam) hari kerja atau lebih”. Pemberlakuan ketentuan ini terhadap saya dilakukan oleh Bupati dan Sekretaris Daerah dengan alasan bahwa selama saya berperkara di PTUN Makassar atas pemberhentian saya sebagai Kepala BKD Kabupaten Kepulauan Selayar tanpa alasan dianggap tidak melaksanakan tugas sehari-hari sebagai PNS. Terkait dengan alasan ketidakhadiran saya melaksanakan tugas sebagai PNS di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar selama berperkara di PTUN Makassar dapat saya sampaikan kepada Bapak Presiden sebagai berikut :
·         a. Jarak antara Makassar sebagai lokasi PTUN tempat saya berperkara melawan Bupati Kepulauan Selayar selaku Tergugat dengan Kabupaten Kepulauan Selayar sangat jauh dan dapat ditempuh dengan perjalanan darat selama 12 jam (sehari), sehingga tidak memungkinkan bagi saya untuk berperkara sambil melaksanakan tugas sehari-hari sebagai PNS;
·         b. Saya telah melakukan konsultasi secara lisan melalui telepon dengan Deputi Pengendalian Kepegawaian Badan Kepegawaian Negara (BKN) Bapak Bambang Chrisnadi, SH, M.Si tentang pelaksanaan tugas saya sebagai PNS dengan memenuhi panggilan PTUN Makassar untuk berperkara, dan beliau memberikan petunjuk bahwa “memenuhi panggilan Pengadilan adalah kewajiban bukan pelanggaran disiplin”;
·         c. Sebagai PNS, saya telah meminta izin kepada Bupati Kepulauan Selayar secara tertulis untuk diberikan izin tidak masuk kerja selama berperkara dengan surat permohonan izin tanggal 24 Oktober 2010 (copy surat terlampir), tetapi tidak diberikan izin/tidak disetujui oleh Bupati melalui Sekda dengan surat Nomor : 800/1001/X/2010/ORPEG, tanggal 29 Oktober 2010 (copy surat terlampir);
·         d. Karena permintaan izin ditolak, maka pada tanggal 9 November 2010, saya memohon agar diberikan hak Cuti saya yaitu Cuti Besar selama 3(tiga bulan) yang akan saya gunakan selama mengikuti dan menghadiri sidang-sidang Perkara saya di PTUN Makassar (copy surat terlampir), tetapi hak Cuti saya juga ditolak oleh Bupati Kepulauan Selayar melalui Kepala Bagian Organisasi dan Kepegawaian Setda dengan surat penolakan Nomor : 800/441/XI/Orpeg/2010, tanggal 27 Nopember 2010 (copy surat terlampir);
·         e. Berdasarkan alasan dan prosedur yang telah saya tempuh sebagaimana tersebut huruf a sampai dengan huruf d diatas, maka saya berpendapat bahwa ketidakhadiran saya melaksanakan tugas sebagai PNS tidak dapat dikategorikan atau tidak termasuk dalam pelanggaran disiplin sebagaimana diatur dalam Pasal 10 angka 9 huruf d Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2010 karena alasannya sangat jelas “memenuhi panggilan Pengadilan yaitu PTUN Makassar” dan “bukan tanpa alasan yang sah” sesuai maksud ketentuan tersebut.

Bapak KAPOLRI yang terhormat,
Dalam perjalanan perkara saya dengan Bupati Kepulauan Selayar (H. SYAHRIR WAHAB), Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar (H. ZAINUDDIN, SH, MH) beserta seluruh kroninya berusaha untuk menjatuhkan saya dengan menghalalkan segala cara karena merasa dipermalukan dengan kekalahan mereka di PTUN Makassar. Bupati dan Sekretaris Daerah bersama kroninya telah melaporkan saya kepada KAPOLRES Selayar dengan tuduhan-tuduhan penipuan, pencemaran nama baik dan tindak pidana korupsi. Rincian laporan yang mereka sampaikan kepada Kepolisian Resort (POLRES) Kepulauan Selayar tersebut adalah sebagai berikut :
  1. Saya Drs. Muh. Arsad, M.M. diberhentikan secara sewenang- wenang tanpa alasan yang cukup oleh Bupati Kepulauan Selayar.
  2. Saya dilaporkan oleh kroni Bupati Kepulauan Selayar yang bernama ROS MERY bahwa saya telah “melakukan penipuan” terhadap 3(tiga) orang untuk dimasukkan menjadi CPNS dengan meminta sejumlah uang, masing-masing atas nama JAYADI sebanyak Rp.30.000.000 (Tiga Puluh Juta Rupiah); ROSTINAH sebanyak Rp.10.000.000 (Sepuluh Juta Rupiah) dan IKBAL sebanyak Rp.35.000.000 (Tiga Puluh Lima Juta Rupiah) yang dibuktikan kwitansi. Pada bagian kiri bawah kwitansi tersebut yang bersangkutan memalsukan tanda tangan saya sebagai pihak yang mengetahui. Setelah Penyidik POLRES Selayar menguji kebenaran tanda tangan saya melalui uji Laboratoriun Forensik POLDA Sulsel ternyata hasilnya “tanda tangan di atas kwitansi tersebut tidak identik dengan tanda tangan saya”. Namun sampai saat ini hasil Laboratorium Forensik tersebut belum pernah diperlihatkan kepada saya sebagai tertuduh (copy kwitansi palsu terlampir).
  3. Saya juga dilaporkan oleh Kepala Inspektorat Kabupaten Kepulauan Selayar (ANDI BASO, SH, MH) dengan saksi Sekretaris Daerah (H. ZAINUDDIN, SH, MH) atas tuduhan “melakukan pencemaran nama baik” karena meng-apload laporan saya ke Mendagri masuk ke facebookyang menyatakan bahwa yang bersangkutan diangkat menjadi Kepala Inspektorat (Inspektur) Kabupaten Kepulauan Selayar tanpa persetujuan Gubernur Sulawesi Selatan sesuai ketentuan peraturan perundangan yang berlaku yaitu Pasal 14 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 dan Pasal 130 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa “Pengangkatan Pejabat Struktural Eselon II pada Pemerintah Kabupaten harus dikonsultasikan secara tertulis dengan Gubernur “. Setelah laporan tersebut dikonsultasikan oleh Penyidik POLRES Selayar kepada Kepala Badan Kepegawaian Daerah Propinsi Sulawesi Selatan (Dra. ANDI MURNY AMIEN SITURU) ternyata pengangkatan Kepala Inspektorat (Inspektur) Kabupaten Kepulauan Selayar (ANDI BASO, SH, MH) adalah benar tidak melalui atau tanpa “Persetujuan Tertulis” Gubernur Sulawesi Selatan.
  4. Dan terakhir, saya juga dilaporkan oleh Sekretaris Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar (H. ZAINUDDIN, SH, MH) telah “melakukan korupsi” atas dana catering Diklat Prajabatan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Selayar tahun anggaran 2008 dan 2009 dengan tuduhan pengadaan catering tersebut tidak melalui proses tender padahal anggarannya diatas 50 juta. Fakta rekomendasi Hasil Auidt BPK atas kegiatan tersebut (LHP Nomor : 42c/HP/XIX.MKS/07/2010 tanggal 23 Juli 2010) adalah : 1) Memerintahkan Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda dan Kepala Badan Kepegawaian Daerah untuk memberikan sanksi PPTK yang lalai melaksanakan tugasnya; 2) Memerintahkan Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda dan Kepala Badan Kepegawaian Daerah agar dalam pengadaan barang/jasa memperhatikan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Rekomendasi tersebut telah ditindak-lanjuti dengan Surat Perintah Bupati Nomor : 205/HUK/TL/X/2010 tanggal 9 Oktober 2010 (foto copy LHP BPK dan Surat Perintah Bupati terlampir). Selanjutnya Keppres 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah beserta seluruh perubahannya ditegaskan bahwa “penyelenggaraan diklat, kursus, penataran, seminar, lokakarya atau penyuluhan” adalah pekerjaan yang dapat dilakukan dengan “SWAKELOLA”.

Bapak Presiden RI yang terhormat,
Berdasarkan uraian-uraian dan fakta-fakta terlampir, maka saya sebagai Pegawai Negeri Sipil dan Warga Negara Indonesia yang memiliki hak dan kedudukan hukum yang sama dengan warga negara lainnya, memohon dengan hormat dan penuh kerendahan hati, kiranya Bapak Presiden RI berkenan“memberikan solusi terbaik sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku” kepada saya, dan selanjutnya memerintahkan kepada Jajaran Kepolisian Republik Indonesia yang terkait dengan penyelesaian kasus-kasus yang saya laporkan di POLDA SULSEL dan yang dilaporkan oleh kroni Bupati Kepulauan Selayar POLRES Kepulauan Selayar agar segera diproses sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku dengan seadil-adilnya.
Demikian permohonan ini saya sampaikan, atas perhatian dan tindak lanjutnya diucapkan terima kasih.












B.  Analisa kasus

1.      Melakukan Penyelesaian di dalam Pemerintahan Sendiri

Kompetensi utama Badan Peradilan Administrasi yang dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara adalah menyelesaikan sengketa administrasi antara Pemerintah dan warga masyarakat, disebabkan pemerintah telah melanggar hak-hak kepentingan warga. Peraturan perundang-undangan khususnya pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 jo. Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan: “Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di Pusat maupun di Daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Sengketa-sengketa dibidang kepegawaian tidak ditangani langsung oleh suatu peradilan tetap, namun diselesaikan melalui suatu proses yang mirip dengan suatu proses peradilan, yang dilakukan oleh suatu tim atau oleh seorang pejabat yang disebut peradilan semu( Quasi rechtspraak). Pengertian Peradilan kepegawaian yang dimaksud adalah serentetan prosedur administrasi yang ditempuh oleh10 pegawai negeri, apabila ia merasa tidak puas dan berkeberatan atas suatu tindakan berupa keputusan yang dilakukan atasannya (pejabat yang berwenang) yang merupakan kepentingannya. Dalam hal ini sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 Undang-undang Nomor 8 tahun 1974 Jo Undang-undang No 43 tahun 1999 Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Jo UU No 9 tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dalam hal sengketa kepegawaian terlebih dahulu dilakukan prosedur administrasi di lingkungan pemerintahan sendiri. Bila mana penyelesaian tersebut belum memberikan kepuasan maka PNS yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Administrasi (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) sebagai pengadilan tingkat pertama. Mengenai prosedur penyelesaian sengketa kepegawaian, diatur lebih lanjut dalam Pasal 48 Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, yang berbunyi : ayat (1) dalam hal suatu badan atau pejabat tata usaha negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa tata usaha negara tertentu, maka sengketa tata usaha tersebut harus diselesaikan melalui upaya administratif yang tersedia, ayat (2) pengadilan baru berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan. Dengan demikian, yang dimaksud dengan upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seseorang atau badan hukum apabila ia tidak puas terhadap suatu keputusan tata usaha negara, yang dilaksanakan dilingkungan11 pemerintahan sendiri. Upaya administartif itu terdiri dari : (1) Banding administratif, yakni apabila penyelesaian dilakukan oleh instansi atasan atau instansi lain dari yang mengeluarkan keputusan yang bersangkutan, (2) Keberatan, yakni jika penyelesaian harus dilakukan sendiri oleh badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan jika seluruh prosedur itu telah ditempuh, tetapi ada pihak yang belum merasakan keadilan atau kepuasan, maka persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, sebagaimana ditentukan dalam pasal 51 ayat (3) Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara : “ Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara bertugas dan berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 “

2.       Eksistensi Pengawasan Peradilan Tata Usaha Negara

Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menegaskan bahwa “negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (maachtstaat). Dengan penjelasan itu, maka mekanisme kehidupan perorangan masyarakat dan negara, diatur oleh hukum (tertulis maupun tidak tertulis) hal ini menunjukkan bahwa semua warga negara termasuk aparatur negara mempunyai kedudukan yang sama dimuka hukum, dengan demikian aparatur negara di dalam melaksanakan tugas umum pemerintahan dan pembangunan dituntut untuk selalu bersikap dan berprilaku sesuai norma-norma hukum di dalam memberikan pelayanan serta pengayoman kepada warga masyarakat. Dalam kaitan ini, keberadaan Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu pilar dari negara hukum, karena di satu sisi mempunyai peranan menonjol yaitu sebagai lembaga kontrol (pengawas) terhadap sikap tindak administrasi negara supaya tetap berada dalam rel hukum, di sisi lain, sebagai wadah untuk melindungi hak individu dan warga masyarakat dari tindakan penyalahgunaan wewenang dan atau tindakan sewenang-wenang administrasi negara. Sebagai lembaga pengawas (judicial control), ciri-ciri yang melekat pada Pengadilan Tata Usaha Negara adalah :
1. Pengawasan yang dilakukan bersifat “external control “ karena ia merupakan lembaga yang berada diluar kekuasaan administrasi negara (bestuur)
2. Pengawasan yang dilakukan lebih menekankan pada tindakanrepresif atau lazim disebut “control a posteriori “ karena selalu dilakukan sesudah terjadinya perbuatan yang dikontrol
3. Pengawasan itu bertitik tolak pada segi “legalitas” karena hanya menilai dari segi hukum (rechtmatig) nya saja. Fungsi pengawasan PTUN nampaknya sulit dilepaskan dari fungsi perlindungan hukum bagi masyarakat (individu-individu), karena dapat memposisikan individu berada pada pihak yang lebih lemah bila berhadapan di pengadilan, sementara tolok ukur bagi Hakim Administrasi dalam mengadili Sengketa Administrasi Negara adalah pasal 53 ayat (2) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara ( sering disebut pasal ‘ payung ‘ atau menghidupkan kompetensi PTUN diantara pasal-pasal yang lain), yang menentukan alasan-alasan untuk dapat digunakan dalam gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara. Ketentuan dalam ayat tersebut merupakan juga dasar pengujian (toetsingsgronden) dan dasar pembatalan bagi hakim dalam menilai apakah keputusan tata usaha negara yang digugat itu bersifat melawan hukum atau tidak, untuk kemudian keputusan yang digugat itu perlu dinyatakan batal atau tidak.
Sementara itu, isi ketentuan Pasal 53 ayat (2) UU No. 9 Tahun 2004 dimaksudkan sebagai berikut : Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 adalah : (a).Keputusan Administrasi negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, (b). Keputusan tata usaha negara yang digugat bertentangan dengan Asas-asas umum pemerintahan yang baik atau layak (AAUPB/AAUPL)
Dari rumusan di atas, ditemukan asas larangan “penyalahgunaan wewenang “ dan asas larangan “bertindak tidak sewenang-wenang “ keduanya termasuk bagian dari Asas asas umum pemerintahan yang baik ( AAUPB ). Menurut Indroharto 2, urgensi keberadaan Azas asas umum pemerintahan yang layak ( AAUPL ) yang tersirat dalam pasal 53 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1986 adalah, disamping dapat digunakan untuk menggugat juga merupakan dasar-dasar ( kriteria atau ukuran ) yang digunakan Hakim Administrasi dalam menguji atau menilai ( toetsingsgronden ) apakah Keputusan Administrasi Negara ( beschikking ) yang disengketakan itu bersifat melawan hukum atau tidak. Lebih lanjut, Indroharto memerinci dasar-dasar pertimbangan untuk menguji Keputusan Administrasi Negara yang dapat digugat kedalam empat ukuran, yakni;
 (1). Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
 (2). Melanggar larangan detournement de pouvoir,
 (3). Menyimpang dari nalar yang  . Indroharto, “ Asas-asas umum pemerintahan yang baik”, Mahkamah Agung, Jakarta, 198514 sehat (melanggar larangan willekeur),
(4). Bertentangan dengan Asas-asas umum pemerintahan yang layak.
Sebenarnya keberadaan ke-empat kriteria di atas, diformulasikan dari ketentuan Pasal 53 ayat (2) butir a,b.c yang dibandingkan dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Wet AROB dan merupakan dasar menguji undang-undang oleh Afdeling Rechtspraak raad van Stater terhadap suatu beschikking yang digugat, namun UU No. 5 Tahun 1986 tidak dengan tegas mencantumkan Asas asas umum pemerintahan yang layak kedalam salah satu pasalnya (seperti dalam butir (d) Wet AROB).
Jadi yang perlu diperhatikan dalam penerapan Asas asas umum pemerintahan yang layak secara konkrit adalah memperhatikan pandangan-pandangan, ide-ide kondisi yang dianut dalam sistem dan praktek pemerintahan baik politik, kultural maupun ideologi. Dengan demikian, Hakim Administrasi perlu berpedoman pada beberapa dasar pertimbangan di atas, karena para hakim pada saat menerapkan hukum (Asas asas umum pemerintahan yang layak) bertindak sebagai penemu hukum, pembentuk hukum, pembaharu hukum, penegak hukum dan sebagai benteng keadilan.
Sementara penerapan asas hukum oleh Hakim Administrasi di pengadilan menurut Philipus M Hadjon , secara teknis dapat didekati dengan dua cara yaitu melalui penalaran hukum induksi dan deduksi. Di dalam Metode induksi, langkah pertama yang dilakukan hakim dalam menangani sengketa adalah merumuskan fakta, mencari hubungan sebab-akibat dan mereka-reka probabilitasnya. Philipus M Hadjon, “ Pengkajian Ilmu HukumDogmatic ( nasional)”, Makalah Yuridika Nomor 6 Tahun IX, Nopember 1994, hlm. 12-1415 Kemudian diikuti dengan metode deduksi, yang diawali dengan mengumpulkan fakta-fakta, dan setelah fakta berhasil dirumuskan, selanjutnya dilakukan upaya “penerapan hukum (asas hukum)”.
Langkah utama dalam penerapan hukum adalah mengidentifikasi aturan aturan hukum. Dari langkah ini akan dijumpai suatu kondisi hukum yang bermacammacam. Pertama, adanya kekosongan hukum (kekosongan peraturan perundangundangan ) jika hal ini terjadi, maka hakim berpegang pada asas “ius curia novit” hakim wajib menggali nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Upaya inilah yang sering disebut sebagai metode Penemuan hukum (rechtsvinding) Kedua, akan terjadi kondisi antinomi (konflik norma hukum ). Solusinya berlakulah prinsip-prinsip “asas lex posterior derogat legi priori,” asas lex specialis derogat lex generalis” dan “asas lex superior derogat legi inferior “ Ketiga, dalam menghadapi norma hukum yang kabur, maka hakim berpegang pada rasio hukum yang terkandung dalam peraturan hukum, untuk selanjutnya menetapkan metode interprestasi yang tepat, sedangkan menurut Bagir Manan, untuk mempertemukan antara kaidah hukum dengan peristiwa hukum atau fakta, diperlukan berbagai metode yaitu metode penafsiran dan metode konstruksi. Melihat perkembangan praktek penerapan kaedah hukum tidak tertulis oleh Hakim Administrasi dewasa ini, nampaknya ada kecenderungan mengarah pada kondisi diterimanya yurisprudensi, di samping kedua asas yang sudah tercantum dalam Pasal 53 ayat (2) butir b dan c artinya, yurisprudensi dapat diakui sebagai Bagir Manan, “ Pemecahan Persoalan Hukum”, Makalah, disampaikan pada Ceramah penataran hakim agama se-Indonesia, diselenggarakan Depag RI 20 Nopember 1993, hlm. 11-1516 hukum dalam arti konkret (in concreto) sehingga disebut dengan Hukum Yurisprudensi .

3.     evaluasi perkara

Menurut kelompok kami Dalam Gugatan yang dilakukan oleh PNS Drs. Muh. Arsad, M.M. terhadap atasannya merupakan suatu tindakan hukum ( litigasi ) yang umum dilakukan seorang pegawai karena merasatidak puas atas SK tersebut, disertai sikap tidak menerima terhadap penyelesaian yang dilakukan melalui pemeriksaan internal (peradilan semu) di luar pengadilan, karena tidak mendapat hasil maksimal. Menurut Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, gugatan yang diajukan pihak yang dirugikan pada pihak lain harus didasarkan pada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 53 ayat I, dan bila melihat objek sengketa, maka pengajuan gugatan oleh penggugat ke Peradilan Administrasi pada dasarnya sudah tepat karena diajukan masih dalam tenggang waktu 90 hari sejak Penggugat menerima Surat Keputusan tersebut ( Pasal 55 UU No 5 tahun 1986 Jo UU No. 9 tahun 2004 ), akan tetapi bila melihat ketentuan dalam Pasal 15 ayat (2) PP No. 30 tahun 1980 Tentang Peraturan Disiplin PNS khususnya untuk putusan berupa hukuman disiplin, dapat dilakukan melalui upaya administratif yaitu, Penggugat menyampaikan keberatan disertai alasan-alasan walaupun sengketa belum selesai. Dalam kasus ini telah dinyatakan jelas alasan-alasan pengugat yang menyatakan pemecatan dirinya sebagai pegawai negeri sipil dirasa dilakukan sewenang-wenang oleh Bupati kepulauan selayar karena tidak dapat membuktikan alasan yang tepat.
            Dalam hal ini pada dasarnya bupati yang bersangkutan haruslah melihat tujuan hukuman disiplin pegawai negeri dalam melakukan pemecatan. Adapun tujuan tersebut adalah sebagai berikut :
Tujuan hukuman disiplin adalah untuk memperbaiki dan mendidik PNS yang melakukan pelanggaran disiplin PNS. Hukuman disiplin yang dijatuhkan harus setimpal dengan pelanggaran yang dilakukan, sehingga hukuman disiplin tersebut dapat diterima oleh rasa keadilan. Dalam menegakkan disiplin, hukuman disiplin adalah upaya terakhir apabila upaya pembinaan dengan cara lain sudah tidak dapat merubah perilaku seorang PNS yang tidak disiplin, karena itu setiap penindakan terhadap pelanggaran disiplin perlu dilandasi dengan prinsip :
1. Adanya rasa keadilan, oleh karena itu sanksi yang dikenakan harus setimpal dengan kesalahan yang telah dilakukan, dengan mempertimbangkan hal hal yang memberatkan dan meringankan.
2. Sanksi harus bermanfaat untuk mendidik dan memperbaiki PNS yang dikenakan sanksi serta berdampak positif bagi pembinaan PNS di lingkungan kerjanya.
3. Konsistensi, keputusan penindakan yang pernah diambil dalam suatu kasus, menjadi pedoman dalam penindakan dalam kasus yang sama.
4. Adanya kepastian hukum, penindakan terhadap setiap pelanggaran harus di dasarkan pada ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
            Berdasarkan pemaparan penggugat dalam hal ini penggugat telah tepat untuk memperkarakan perkara ini ke PTUN karena menurut kelompok kami pengadilan PTUN berwenang untuk mengadili perkara yang dialami oleh Muh. Arsad. Dari penjelasan mengenai alasan-alasan yang disampaikan oleh Muh. Arsad kelompok kami dapat menyimpulkan bahwa keputusan yang dibuat oleh bupati dalam hal ini Bupati kepulauan selayar adalah sewenang-wenang karena telah dijelaskan bahwa dalam hal pembuktian saja bupati tersebut membuat alat bukti palsu berupa kuitansi palsu.


·         Pengajuan Banding
Dan dari perkembangan kasus diatas bahwa terbukti bahwa pada saat penggugat dimenangkan di pengadilan tata usaha negara makasar, maka tergugat benar karena merasa tidak puas terhadap keputusan maka dapat mengajukan banding ke tinggi tata usaha negara dengan konsekuensi menggunakan prosedure yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh undang-undang.
Menurut kelompok kami perkembangan perkara oleh tergugat ini yang mengajukan banding ke pengadilan tinggi tata usaha negara dirasa hanyalah pemainan politik ketidakpuasan yang dilakukan pejabat pemerintahan, hal ini dikarenakan dalam proses pengajuan banding yang dilakukan tergugat, tergugat kemudian menuntut penggugat dengan tuntutan pidana yang lain, yaitu seperti tindak pidana korupsi. Menurut pengamatan kelompok kami inilah yang menyebabkan kami menganggap pengajuan banding yang dilakukan hanyalah untuk mencari cela.










BAB III  PENUTUP

a.      Simpulan

1.      Pada dasarnya apa yang dilakukan penggugat untuk melakukan gugatan ke pengadilan TUN telah benar karena itu merupakan kewenangan pengadilan tata usaha negara.
2.      Dalam hal gugatan menurut kelompok kami Bupati selaku tergugat telah terbukti telah membuat keputusan dengan sewenang-wenang, itu dapat terlihat dari alasan-alasan yang diberikan oleh penggugat kepada pengadilan tata usaha negara.
3.      Pengajuan banding yang dilakukan oleh tergugat merupakan langkah hukum yang sah dalam peradilan tata usaha negara, karena dalam hal ini penggugat ataupun tergugat dapat mengajukan banding ke pengadilan tinggi tata usaha negara apabila merasa tidak puas dengan keputusan pengadilan tata usaha negara.

b.      Rekomendasi
Menurut kelompok kami perkara kepegawaian adalah perkara yang khusus dalam peradilan tata usaha negara karena proses penyelesaian perkaranya dimulai dari penyelesaian sengketa secara non litigasi kemudian berkembang ke penyelesaian sengketa secar litigasi. Dalam perkara ini sebaiknya para pihak yang berperkara haruslah mencari penyelesaian masalah yang terbaik untuk keduanya. Karena telah masuk ke ranah litigasi maka para pihak sebaiknya mengambil langkah hukum yang efektif dan efisien agar proses peradilan tidak bertele-tele. Dan menurut kelompok kami dalam hal ini kami menekankan kepada tergugat yaitu Bupati agar memberikan bukti-bukti yang konkrit dan memberikan alasan-alasan yang tepat dalam membuat keputusan.
            Yang terakhir kami berharap agar kiranya makalah ini dapat mengispirasi pembaca agar kiranya dalam mengambil keputusan atas kedisiplinan haruslah melihat dan mengindahkan yaitu tujuan penghukuman.







                                                                                                              














DAFTAR PUSTAKA

·         Bagir Manan, Pemecahan Persoalan Hukum, Makalah disampaikan pada Ceramah Penataran Hakim Agama se-Indonesia diselenggarakan Depag, 1993
·         Indroharto, Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik, Mahkamah Agung, Jakarta, 1985
·         Kotan Y Stefanus, Mengenal Peradilan Kepegawaian di Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1995
·         Marbun SF, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 199721
·         Paulus Efendi Lotulung, Beberapa Sistem Tentang Kontrol Segi Hukum terhadap Pemerintahan, Cet Pertama, Citra Aditya Bakti Bandung, 1993
·         Philipus M Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatic (nasional), dalam Makalah Yuridika No. 6 Tahun IX Nopember 1994.
·         R. Subekti, Hukum Acara Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1977
·         Sastro Djatmiko, Hukum Kepegawaian di Indonesia, Djambatan, Jakarta, 1990
·         Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolak Ukur Badan Peradilan Administrasi di Indonesia, Alumni, Bandung, 1977
·         Soedibyo Triadmodjo, ( 1983 ), Hukum Kepegawaian Mengenai Kedudukan, Hak dan Kewajiban PNS, Ghalia Indonesia, Jakarta
·         Sri Soemantri M, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Cet, Pertama, Alumni Bandung, 1992

Tidak ada komentar:

Posting Komentar