Cari Blog Ini

Senin, 16 Mei 2011

Surat Wasiat (Testament)

Pewarisan dapat terjadi baik berdasarkan undang-undang maupun karena Surat Wasiat. Pewarisan berdasarkan undang-undang menentukan: siapa yang menjadi Ahli Waris dan berapa bagiannya masing-masing. Pewarisan berdasarkan undang-undang baru dapat dilakukan apabila Pewaris tidak menentukan sendiri bagaimana pembagian harta warisan yang ditinggalkannya kelak. Kehendak Pewaris tentang apa yang akan berlaku terhadap harta warisan yang ditinggalkannya itu harus didahulukan sebelum pembagian berdasarkan undang-undang, dan penentuan itu harus dilakukan oleh Pewaris berdasarkan Surat Wasiat (Testament).
Surat Wasiat (testamen) adalah sebuah akta yang berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terhadap harta kekayaannya  setelah ia meninggal dunia nanti. Karena wasiat harus dibuat dalam sebuah akta, maka syarat wasiat adalah “tertulis” (dalam bentuk Surat Wasiat). Ucapan dan kehendak Pewaris sewaktu masih hidup tentang apa yang dikehendakinya kelak terhadap boedel waris, jika tidak dituangkan kedalam bentuk tertulis (akta/surat), tidak dapat dikatakan sebagai sebuah wasiat. Selama Pewaris belum meninggal dunia, Surat Wasiat itu dapat dirubah atau dicabut kembali olehnya.
Meskipun Surat Wasiat harus dibuat dalam bentuk akta, namun hukum perdata tidak mensyaratkan apakah Surat Wasiat itu harus dibuat dalam bentuk akta di bawah tangan atau akta otentik. Namun dalam prakteknya, Surat Wasiat umumnya dibuat dalam bentuk akta otentik (dibuat di hadapan Notaris). Hal ini penting mengingat dalam segi pembuktian akta otentik memiliki nilai pembuktian yang sempurna.
Surat Wasiat harus berisi tentang pernyataan kehendak dari Pewaris, yaitu apa yang dikehendakinya terhadap harta kekayaan yang ditinggalkannya. Karena sifatnya pernyataan kehendak, maka surat wasiat bersifat sepihak dari sisi Pewaris, dan tidak membutuhkan persetujuan dari Ahli Waris. Hal ini berbeda misalnya dengan perjanjian yang membutuhkan kesepakatan para pihak yang terlibat di dalamnya.
Bentuk Surat Wasiat
Hukum perdata, khusunya pasal 931 KUHPerdata, membagi jenis-jenis surat wasiat atas akta olografis (ditulis sendiri oleh Pewaris), akta umum (dibuat di hadapan Notaris) dan akta rahasia (tertutup).
Surat Wasiat Olografis
Surat wasiat olografis adalah surat wasiat yang seluruhnya ditulis tangan dan ditandatangani sendiri oleh Pewaris, lalu surat wasiat itu dititipkan kepada Notaris untuk disimpan. Notaris kemudian wajib membuat akta penitipan yang ditandatangani oleh Notaris sendiri, Pewaris, dan para saksi. Bila surat wasiat itu dititipkan kepada Notaris secara terbuka, maka keterangan mengenai akta penitipan itu harus dijelaskan di bagian bawah surat wasiatnya. Sebaliknya, jika surat wasiat itu diserahkan kepada Notaris dalam bentuk tersegel, maka penjelasan mengenai akta penitipan itu dibuat di kertas tersendiri.
Surat Wasiat Olografis yang telah disimpan oleh Notaris mempunyai kekuatan yang sama dengan surat wasiat yang dibuat dengan akta umum. Tanggal pembuatan Surat Wasiat Olografis dianggap telah dibuat pada tanggal pembuatan akta penitipan (tanpa memperhatikan hari penandatanganan surat wasiatnya). Jika dikehendaki, Pewaris dapat meminta kembali surat wasiat olografis-nya sewaktu-waktu, dan pengembalian itu dibuktikan dengan akta otentik tersendiri.
Surat Wasiat dengan Akta Umum
Surat Wasiat dengan akta umum dibuat di hadapan Notaris dan dua orang saksi. Notaris yang menulis sendiri Surat Wasiat tersebut, atau menyuruh orang lain untuk menulis kehendak Pewaris. Selanjutnya, Surat Wasiat itu ditandatangani oleh Pewaris, Notaris, dan saksi-saksi.
Surat Wasiat dengan Akta Rahasia
Surat Wasiat dengan akta tertutup atau rahasia dibuat dan ditandatangani sendiri oleh Pewaris atau orang lain yang disuruh Pewaris. Kemudian Pewaris menyampaikan Surat Wasiat itu dalam keadaan tertutup dan disegel kepada Notaris di hadapan empat orang saksi. Dalam penyerahan itu Pewaris harus menerangkan bahwa dalam surat tersebut tercantum wasiatnya, dan bahwa wasiat itu ditulis olehnya sendiri atau oleh orang lain yang disuruhnya, dan ia telah menandatangani surat Wasiat tersebut. Notaris kemudian membuat akta penjelasan mengenai hal tersebut dan akta penjelasan itu ditandaangni oleh Pewaris, Notaris, dan para saksi. (legalakses.com).

pelaksanaan otonomi daerah dalam praktiknya


Disusun oleh  : Nico Andreas Simanungkalit
NPM              : 0912011216
Fakultas hukum Unila



BAB  I
PENDAHULUAN


1.1       LATAR BELAKANG MASALAH

Pada dasarnya sistem yang dianut di Negara Republik Indonesia dikenal adanya asas desentralisasi. Asas ini kemudian melahirkan konsep asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas – luasnya. Dalam system dan prinsip Negara kesatuan republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan yang berwenang dalam penyelenggaraannnya adalah pemerintah daerah.
Lahirnya Undang – undang No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah semakin memperjelas sistem desentralisasi dengan otonomi daerah. Didalam Undang – undang ini minimal ada lima pemikiran penting yang menyadari kedua undang – undang tersebut yaitu :
1.      Demokrasi
2.      Partisipasi dan penguatan rakyat
3.      Pemerataan dan keadilan
4.      Pertimbangan potensi dan perbedaan daerah
5.      Penguatan DPRD
Lahirnya undang – undang ini diharapkan mampu memudahkan koordinasi kekuasaan dan pemerintahan juga mengakomodasi kondisi bangsa Indonesia. Didalam Undang – undang No.32 Tahun 2004[1] dijelaskan tentang kewenangan pemerintah daerah yang seluas – luas nya untuk mengatur daerahnya masing – masing dan mengembangkan potensi – potensi yang ada didaerah nya tersebut dan kewenangan dibidang pemerintahan, kecuali kewenangan tentang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter, dan fiscal, agama, serta kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan pengendalian serta evaluasi.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,  pemerintah daerah berwenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.  Pemberian otonomi luas kepada daerah diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat.  Disamping itu daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing  dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi daerah sesungguhnya bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sampai saat ini Indonesia sudah beberapa kali merubah peraturan perundang – undangan tentang pemerintahan daerah yang menandakan bagaimana otonomi daerah di Indonesia berjalan secara dinamis.

Tapi dalam kenyataannya proses pemerintahan daerah tidak sesuai dengan apa yang tercantum dalam Undang – undang No.32 Tahun 2004[2]. Penyebab terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan Undang – undang ini adalah menjadi pokok bahasan yang akan kami paparkan baik dari segi kelemahan ataupun permainan politik oleh pemerintah pusat maupun pemerintahan daerah ataupun kontradiksi dari hasil makalah dari kelompok 3.

1.2       RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, kami dapat merumuskan masalah sebgai berikut :
·           Penjelasan tentang fungsi prinsip-prinsip dalam penyelenggaraan pemerintah daerah
·           Kekurangan system desentralisasi
·           Menjelaskan tentang sejauh mana pertanggungjawaban pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah berdasarkan system otonomi yang seluas-luasnya
·           Kontradiksi hubungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah
·            Bagaimana dampak negatif yang terjadi dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini?
·           Bagaimana prospek otonomi daerah di masa mendatang dalam upaya mewujudkan pemerintahan yang sesuai AAUPB ?
·           Mengidentifikasi permasalahan sertta kendala yang dihadapi dalam mengimplementasikan otonomi daerah saat ini.

1.3       TUJUAN PENULISAN
Adapun yang menjadi tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah :
·         Melengkapi tugas otonomi daerah
·         Memberikan pemahaman tentang proses pelaksanaan pemerintahan daerah pada kenyataannya (kontradiksi makalah kelompok tiga)
1.4       METODE PENULISAN
Dalam penulisan makalah ini, penulis menggunakan metode deskriftif dengan tekhnik pengumpulan data sebagai berikut:
Kepustakaan. Dalam hal ini, penulis menggunakan beberapa literatur dari berbagai media yang menerangkan tentang prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahaan daerah di Indonesia yang penulis jadikan pedoman dalam penulisan makalah ini.

1.5       MANFAAT PENULISAN
Sebagai mahasiswa fakultas hukum, diharapkan makalah ini dapat bermanfaat sebagai pengembangan ilmu pengetahuan dalam hukum otonomi daerah khusus nya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan daerah. Makalah ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pembaca sebagai media informasi yang dapat menimbulkan sebuah masukkan kepada masyarakat atau pemerintah daerah tentang pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Penyusunan makalah ini juga diharapkan dapat memberikan masukkan – masukkan ataupun problem solving akan masalah tentang penyelenggaraan pemerintahan daerah.






























BAB II
PEMBAHASAN
Dasar pemikiran yang melatarbelakangi adanya otonomi daerah adalah keinginan untuk memindahkan pengambilan keputusan untuk lebih dekat dengan mereka yang merasakan langsung pengaruh program dan pelayanan yang dirancang dan dilaksanakan oleh pemerintah. Hal ini akan meningkatkan relevansi antara pelayanan umum dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat lokal, sekaligus tetap mengejar tujuan yang ingin dicapai oleh pemerintah ditingkat daerah dan nasional, dari segi sosial dan ekonomi. Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor  32 Tahun 2004  tersebut maka dimulailah babak baru pelaksanaan Otonomi Daerah di Indonesia. Kebijakan Otonomi Daerah ini memberikan kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Kota didasarkan kepada desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab.
            Berdasarkan makalah dari kelompok 3, kami selaku kelompok yang kontra terhadap apa yang dipaparkan ingin coba memberikan pandangan lain tentang apa yang telah dibuat oleh kelompok 3. Dalam hal ini kami merasa bahwa sangat sulit untuk kita memberikan pendapat kontra terhadap makalah dari kelompok 3 karena apa yang dipaparkan oleh kelompok 3 berdasarkan oleh apa yang telah ditetapkan dalam UU, baik UUD 1945 maupun UU No. 32 Tahun 2004. Tetapi jika kita berbicara tentang pelaksanaannya maka kami mendapatkan sebuah kontradiksi tentang apa yang telah ditetapkan oleh undang-undang, hal ini dapat terjadi karena dalam kenyataannya terdapat banyak kondisi yang membuat suatu tekanan, maupun kelemahan dari sistem penyelenggaraan pemerintahan daerah sehingga pelaksanaannya tidak sesuai dengan rumusan undang-undang. Untuk memulai pembahasan ini kami ingin coba memberikan gambaran tentang kelemahan/ kendala – kendala yang akan dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah yang dipergunakan di Negara Republik Indonesia.

2.1     Kekurangan sistem desentralisasi dalam praktiknya
            Jika dilihat dari segi pelaksanaannya atau praktiknya sistem desentralisasi yang telah dirumuskan dalam UUD 1945 ataupun dalam UU 32 Tahun 2004 terdapat banyak kelemahan antara lain :

2.1.1  Terjadinya politik kekuasaan
Kekurangan dari sistem ini adalah pada daerah khusus, euforia yang berlebihan dimana wewenang itu hanya menguntungkan pihak tertentu atau golongan serta dipergunakan untuk mengeruk keuntungan para oknum atau pribadi. Hal ini terjadi karena sulit dikontrol oleh pemerinah pusat. Desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.

2.1.2.  Potensi Konflik di daerah
Pelaksanaan otonomi daerah merupakan suatu upaya untuk mempertahankan kesatuan Negara Indonesia, karena dengan diterapkannya kebijakan ini diharapkan dapat meredam daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dengan NKRI, terutama daerah-daerah yang merasa kurang puas dengan sistem atau apa saja yang menyangkut NKRI. Tetapi disatu sisi otonomi daerah berpotensi menyulut konflik antar daerah. Konflik yang dimaksud disini adalah konflik kepentingan serta hal – hal yang terkait dengan pemekaran daerah, sumber daya alam termasuk juga mengenai perbatasan. Banyak daerah saat ini menyimpan potensi konflik yang sangat besar. Hubungan sosial antar anggota masyarakat yang tidak harmonis, kesenjangan sosial, serta kebijakan pemerintah yang tidak sensitif terhadap konflik merupakan faktor-faktor yang sangat potensial bagi munculnya konflik di daerah.

Disini kami akan memberikan contoh dari konflik yang saat ini terjadi karena kelemahan otonomi daerah terkait dengan konflik di daerah :
Sementara Jakarta masih terus mempertimbangkan masalah Aceh sebagai salah satu wilayah bergolak dan Aceh sendiri sudah memperoleh otonomi dalam bentuk Nanggroe Aceh Darussalam, Jakarta kini berkeinginan untuk meninjau kembali UU Otonomi Daerah. Bagi pemerintah pusat di Jakarta UU Otonomi Daerah lebih banyak menimbulkan konflik di dalam daerah itu sendiri ketimbang melimpahkan wewenang pusat ke daerah. Selain dari itu otonomi daerah sendiri masih dalam pandangan Jakarta tidak terlalu memperhatikan Indonesia sebagai negara kesatuan, bukan negara federal. Tapi perlukah UU Otonomi Daerah ditinjau kembali? [3]
Pemerintahan di daerah-daerah, nampaknya harus bersiap-siap. Dalam masa otonomi daerah ini, belum tentu mereka bisa bebas mengatur wilayahnya sendiri. Sebab pemerintahan baru di bawah Megawati Soekarnoputri sudah mengambil ancang-ancang untuk mengubah Undang Undang Otonomi Daerah.
Saat masih menjabat sebagai Wakil Presiden Mega memang sudah mengingatkan agar pelaksanaan otonomi daerah ditinjau kembali. Masalahnya, kata Mega, terjadi pembangkangan di sejumlah kabupaten terhadap pemerintahan propinsi. Kekurangan UU Otonomi Daerah dalam mengatur pelaksanaan otonomi daerah pun dituding sebagai penyebab munculnya masalah-masalah itu.
Direktur Jenderal Otonomi Daerah Departemen Dalam Negeri Sudarsono meyakinkan, perubahan ini adalah untuk mempertegas prinsip otonomi di kabupaten kota. Sudarsono menegaskan, tidak ada rencana untuk memindahkan status kekuasaan otonomi dari pemerintah kabupaten ke propinsi.
Ini yang tentu harus kita identifikasi secara cermat mana-mana yang desentralisasi itu berdampak optimal, positif, tapi juga ada yang berimplikasi tidak optimal atau negatif. Ini yang harus menjadi bagian dari evaluasi kita. Jadi revisi tadi itu justru ingin mempertegas dan memperjelas prinsip-prinsip otonomi terutama otonomi yang titik berat di kabupaten kota supay a tidak timbul multiinterpretasi. Sudarsono juga menambahkan, prinsip otonomi daerah tetap berada dalam konteks negara kesatuan. Untuk melancarkan proses perubahan ini, menurut Sudarsono, sejumlah peraturan pemerintah telah disiapkan. Di antaranya soal pembinaan pengawasan propinsi pada kabupaten.
Ketua Komisi II DPR yang membidangi masalah dalam negeri Amin Arjosomenegaskan, perubahan undang-undang otonomi daerah ini dilakukan
untuk menyeimbangkan kekuasaan di daerah. Menurut Amin selama delapan
bulan perjalanan otonomi daerah, di daerah-daerah muncul kekuasaan
bupati yang tidak bisa dikontrol oleh pemerintah propinsi. Akibatnya,
para bupati itu seolah menjadi raja-raja kecil di daerah.
Amin Aryoso: Sekarang bupati saja itu dikontrol oleh propinsi. Itu
fakta. Di samping itu negara kesatuan yang dulu sebenarnya namanya
Nusantara itu artinya laut itu sebagai teritorial kita. Tapi dengan
undang-undang itu laut itu seakan-akan dipecah-pecah, sehingga
pelaut Madura dan Pasuruan itu bisa berkelahi. Karena seolah-seolah
pelaut Madura merasa berhak atas teritori laut itu.
Abdul Razak, bupati Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, menyatakan
masalah-masalah yang terjadi di daerah-daerah itu hanyalah akibat
dari belum matangnya pelaksanaan otonomi daerah. Abdul Razak: Karena kabupaten di Indonesia ini banyak, mungkin ada kelemahan-kelemahan dan kekurangan-kekurangan di beberapa tempat. Itu jangan dijadikan sebagai alasan. Kita tetap mengacu dalam NKRI. Ketentuan, peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi harus kita taati. Tapi di sisi lain, berilah kesempatan kepada daerah sesuai dengan kewenangan yang mereka terima. Kalau ada ekses serta kekurangan, saya kira itu wajar.
Namun hingga saat ini rancangan perubahan UU Otonomi Daerah belum
diungkap oleh pemerintah. Beberapa kalangan pun masih meragukan
efektivitas perubahan UU itu. Peneliti dari Pusat Kajian Wilayah, Laode Ida mengatakan, upaya pemerintah untuk mengubah undang-undang itu, seakan-akan justru ingin mengembalikan kekuasaan pusat terhadap daerah. Padahal menurut Laode, gagasan utama otonomi daerah adalah berbagi kekuasaan dari pusat
kepada daerah.
Laode Ida: Siapa yang mau mengontrol pemimpin? Kan masyarakat, bukan bupati yang harus mengontrol. Karena kekuasaannya diambil oleh
bupati, walikota, maka gubernur marah-marah. Bukan seperti itu!
Setiap orang harus dikontrol oleh aturan pada tingkat normatif.
Pada tingkat sosial setiap pemimpin harus dikontrol oleh
masyarakatnya. Soal kontrol mengontrol tadi itu adalah semacam. kalau
bupati harus terus menerus dikontrol oleh gubernur, itu adalah
ideologi sentralistik.
Laode menyatakan, dalam pelaksanaan otonomi, masyarakat daerah sudah
seharusnya diberdayakan. Namun sekarang yang berlaku bukanlah otonomi
masyarakat daerah, melainkan otonomi pemerintahan daerah. Untuk itu
menurutnya perubahan undang-undang otonomi daerah seharusnya
dilaksanakan oleh pemerintah daerah, bukan oleh pemerintah pusat.
Mungkinkah model otonomi yang ideal itu bisa terlaksana? Kita tunggu
saja pelaksanaan janji Mega soal otonomi daerah yang ia ucapkan di
pidato kenegaraan menyambut kemerdekaan dan disambut tepukan tangan
meriah anggota DPR di Senayan.
Megawati Soekarnoputri: Dalam tatanan hubungan pusat dan daerah ini
sebagian besar kewenangan dan dukungan anggaran negara semestinya
diserahkan kepada kabupaten dan kotamadya. Sedangkan tugas dan
kewenangan pemerintah pusat akan difokuskan pada beberapa bidang
strategis saja.
2.1.3.  SDM dalam hal pelayanan publik.
Dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah akan diberi kebebasan dalam menyusun program dan mengajukannya kepada pemerintahan pusat. pemerintah daerah diharapkan untuk dapat membuat perencanaan dan melaksanakan program. Program ini diidentifikasi dan diprioritaskan menurut kebutuhan daerah dengan berkonsultasi pada pemerintah tingkat bawah dan anggota masyarakat. Hal ini menjadi kendala yang serius ketika apabila orang /badan yang menyusun program tersebut kurang memahami atau kurang mengetahui mengenai bagaimana cara menyusun perencanaan yang baik serta analisis dampak yang akan terjadi. Selain itu dalam kaitannya dengan pemekaran daerah, banyak daerah yang merupakan hasil pemekaran belum memiliki kesiapan baik secara infrastruktur maupun sumber daya manusia dalam hal pelayanan publik.
2.1.4. Desentralisasi Korupsi
Desentralisasi adalah pendelegasian wewenang dalam membuat keputusan dan kebijakan kepada manajer atau orang-orang pada level bawah pada suatu suatu organisasi. Kekurangan desentralisasi ialah kriminalitas juga cepat berkembang seiring dengan perkembangan kota.
Dengan adanya penerapan sistem otonomi daerah, maka terbuka pula peluang yang sebesar-besarnya bagi pejabat daerah terutama oknum pejabat untuk melalukan praktek KKN. Hal tersebut terlihat pada contoh kasus seperti yang dimuat pada majalah Tempo Kamis 4 November 2004 “Desentralisasi Korupsi Melalui Otonomi Daerah”[4]
Sebagai contoh :
“Setelah Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam, resmi menjadi tersangka korupsi pembelian genset senilai Rp 30 miliar, lalu giliran Gubernur Sumatera Barat Zainal Bakar resmi sebagai tersangka kasus korupsi anggaran dewan dalam APBD 2002 sebesar Rp 6,4 miliar, oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat. Dua kasus korupsi menyangkut gubernur ini, masih ditambah hujan kasus korupsi yang menyangkut puluhan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di berbagai wilayah di Indonesia, dengan modus mirip: menyelewengkan APBD.
………………………
Sehingga ada ketidak jelasan akuntabilitas kepala daerah terhadap masyarakat setempat, yang membuat bentuk-bentuk tanggung jawab kepala daerah ke publik pun menjadi belum jelas. ?Karena posisi masyarakat dalam proses penegakan prinsip akuntabilitas dan transparansi pemerintah daerah, belum jelas, publik tidak pernah tahu bagaimana kinerja birokrasi di daerah,? ujarnya.
………………………….
Untuk itu Andrinof mengusulkan, selain dicantumkan prosedur administrasi dalam pertanggung jawaban anggota Dewan, juga perlu ada prosedur politik yang melibatkan masyarakat dalam mengawasi proyeksi dan pelaksanaan APBD. Misalnya, dengan adanya rapat terbuka atau laporan rutin ke masyarakat melalui media massa.
Berikut ini beberapa modus korupsi di daerah:
1. Korupsi Pengadaan Barang Modus : a. Penggelembungan (mark up) nilai barang dan jasa dari harga pasar. b. Kolusi dengan kontraktor dalam proses tender.
2. Penghapusan barang inventaris dan aset negara (tanah) Modus :a. Memboyong inventaris kantor untuk kepentingan pribadi. b. Menjual inventaris kantor untuk kepentingan pribadi.
3. Pungli penerimaan pegawai, pembayaran gaji, keniakan pangkat, pengurusan pensiun dan sebagainya. Modus : Memungut biaya tambahan di luar ketentuan resmi.
4. Pemotongan uang bantuan sosial dan subsidi (sekolah, rumah ibadah, panti asuhan dan jompo) Modus : a. Pemotongan dana bantuan sosial b. Biasanya dilakukan secara bertingkat (setiap meja).
5. Bantuan fiktif  dan Penyelewengan dana proyek. Modus : Membuat surat permohonan fiktif seolah-olah ada bantuan dari pemerintah ke pihak luar, Mengambil dana proyek pemerintah di luar ketentuan resmi serta memotong dana proyek tanpa sepengtahuan orang lain.
6. Manipulasi hasil penerimaan penjualan, penerimaan pajak, retribusi dan iuran. Modus :a. Jumlah riil penerimaan penjualan, pajak tidak dilaporkan. b. Penetapan target penerimaan …………………………………”[5]






2.2. Otonomi daerah di masa mendatang yang sesuai dengan AAUPB.

            Berdasarkan pembahasan kendala/ kelemahan dalam pelaksanaan sistem desentralisasi maka kami ingin mencoba memberikan pandangan tentang otonomi daerah di masa mendatang yang sesuai dengan AAUPB ( Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik), antara lain :

2.2.1.  Asas Desentralisasi Proposional serta Pengawasan
           
Menurut hemat saya sistem yang paling tepat digunakan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah menggunakan Asas Desentralisasi Proporsional serta Pengawasan. Artinya adalah Pemerintah Daerah diberikan kewenangan yang sebesar-besarnya untuk mengurus, mengatur dan memajukan sendiri daerahnya (Kecuali lima hal yang memang harus diatur oleh Pemerintah Pusat, antara lain politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama) dengan dibeda-bedakan berdasarkan tingkat kemapanan darah tersebut serta Pemerintah Pusat turut campur hanya dalam hal pengawasan dan pedoman pelaksanaannya.
Maksud saya disini adalah, memberlakukan hubungan Pusat dan Daerah, antara daerah satu dengan daerah yang lain harus dibeda-bedakan, tergantung dengan tingkat kemapanan antar daerah tersebut. Misalnya, pemberlakuan antara Pusat dengan Provinsi Jawa Tengah dan Pusat Dengan Propinsi Papuaharus dibedakan. Untuk memberlakukan hubungan tersebut antara propinsi yang sudah maju, sudah mempunyai sdm yang terlatih dan professional Pemerintah Pusat dapat memberikan keluasaan tanpa menuntun Propinsi tersebut dengan pedoman-pedomannya, artinya pemerintah memberikan otonomi luas, tinggal mengawasinya saja.
Sedangkan daerah yang belum maju, Pemerintah Pusat berhak dan berkewajiban untuk membeikan pedoman-pedomannya bagi pelaksanaan pembangunan di daerah tersebut. hal ini dapat dilakukan dengan diadakannya organ-organ Pemerintah Pusat di daerah, tanpa mengurangi prinsip otonomi. Itulah yang saya maksudkan dengan Asas Desentralisasi Proporsional serta Pengawasan.

2.2.2.  Butuhnya rumusan ideal perimbangan

Di Indonesia sejak tahun 1998 hingga baru-baru ini, pandangan politik yang dianggap tepat dalam wacana publik adalah bahwa desentralisasi atau otonomi daerah merupakan jalan yang meyakinkan, yang akan menguntungkan daerah. Pandangan ini diciptakan oleh pengalaman sejarah selama masa Orde Baru di mana sentralisme membawa banyak akibat merugikan bagi daerah. Sayang, situasi ini mengecilkan kesempatan dikembangkannya suatu diskusi yang sehat bagaimana sebaiknya desentralisasi dikembangkan di Indonesia. Jiwa otonomi daerah di Indonesia adalah “melepaskan diri sebesarnya dari pusat” bukan “membagi tanggung jawab kesejahteraan daerah”.
Terkait dengan kendala – kendala yang masih dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah saat ini, maka perlu disadari bahwa masalah utama antara pusat dan otonomi daerah adalah masalah perimbangan. Artinya, peran pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan selalu merupakan dua hal yang dibutuhkan. Tak ada rumusan ideal perimbangan. Selain proses politik yang sukar ditentukan, seharusnya ukuran yang paling sah adalah argumen mana yang terbaik bagi masyarakat. Maka dari itu, Birokrasi adalah alat pemerintah pusat untuk melakukan perbaikan daerah. Birokrasi, jika dirancang secara sungguh-sungguh, birokrasi bisa berperan sebagai alat merasionalisasikan masyarakat. Pemerintah pusat, misalnya, membantu pemerintah daerah dalam mendesain pelayanan publik yang akuntabel.[6]

2.2.3. Otonomi daerah yang tidak setengah hati

Semenjak awal kemerdekaan samapi sekarang telah terdapat beberapa peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang kebijakan Otonomi Daerah. UU 1/1945 menganut sistem otonomi daerah rumah tangga formil. UU 22/1948 memberikan hak otonomi dan medebewind yang seluas-luasnya kepada Daerah. Selanjutnya UU 1/1957 menganut sistem otonomi ril yang seluas-luasnya. Kemudian UU 5/1974 menganut prinsip otonomi daerah yang nyata dan bertanggung. UU 22/1999 menganut prinsip otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Sedangkan saat ini di bawah UU 32/2004 dianut prinsip otonomi seluas – luasnya, nyata dan bertanggung jawab.
Pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia pun banyak dikatakan sebagai otonomi daerah setengah hati, masih banyak kekurangan yang mewarnai pelaksanaan otonomi daerah seperti kurangnya koordinasi pusat dan daerah serta masalah – masalah lain yang kemudian berdampak terhadap masyarakat itu sendiri. Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dengan daerah otonom. Pembagian urusan pemerintahan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa selalu terdapat berbagai urusan pemerintahan yang sepenuhnya/tetap menjadi kewenangan Pemerintah.
Keinginan untuk mewujudkan suatu pemerintahan yang baik melalui otonomi daerah memang bukanlah hal yang mudah, masih banyak hal yang perlu diperhatikan untuk dapat menciptakan otonomi daerah yang maksimal demi menciptakan pemerintahan khususnya pemerintahan daerah yang lebih baik. Inilah yang kemudian menjadi dasar pemikiran penulis untuk mengidentifikasi permasalahan yang ada mengenai otonomi daerah sehingga nantinya menjadi bahan pemikiran bersama guna mewujudkan suatu pemerintahan yang baik sesuai dengan asas – asas umum pemerintahan yang baik.

2.2.4. menyusun strategi grand design dan rencana aksi
Di depan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui kelemahan pelaksanaan otonomi daerah secara terus terang.  Untuk mencapai bentuk otda yang ideal masih diperlukan jalan yang panjang.  Pengakuan dari kepala pemerintah yang masih akan berkuasa lebih dari empat tahun ini sangat penting.  Kalau ia memegang kendali pemerintah selama sepuluh tahun mendatang maka masalah mencapai bentuk otda yang "ideal" akan mendominasi permasalahan pemerintahnya.  Pada waktu ini jalan keluar yang terbaik juga belum ada.  Presiden mengungkapkan bahwa pemerintah sedang menyusun strategi grand design dan rencana aksi.  Pendekatan yang diterapkan adalah untuk melihat tujuh elemen dasar, yaitu urusan pemerintahan, kelembagaan, personel, keuangan daerah, perwakilan, pelayanan publik, dan pengawasan.
Presiden mengakui bahwa proses desentralisasi dan otonomi daerah yang telah berjalan beberapa tahun itu, pada awalnya diliputi keraguan dan kekhewatiran akan berpotensi menimbulkan disintegrasi bangsa, karena desentralisasi dilakukan  secara progresip, terlalu cepat, bahkan tanpa melalui masa transisi. Penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme dari pusat merabak ke daerah.  Unsur-unsur masyarakat madani (civic society) yang harus menjalankan checks-and-balances pada proses demokrasi politik di daerah belum berkembang secara efektip.  Mental aparat pemerintah belum sepenuhnya berubah, dan lebih cenderung minta dilayani, padahal tugas aparatur negara adalah untuk melayani rakyat dan memenuhi kebutuhannya.  Demikianlah ungkapan Kepala Negara yang sangat menyegarkan.  Tetapi, bagaimana mencari jalan keluarnya?
Melihat grand design dari sudut pangkal tujuh elemen tadi mungkin kurang lengkap karena pendekatan demikian terlalu operasional dan spesifik.  Kita juga harus menguji kembali grand vision kita mengenai wawasan nusantara dan bentuk NKRI.  Banyak negara berkembang lain yang sangat besar, seperti Brasil, India, Cina, dsb-nya, tersusun sebagai federasi.  Tetapi bentuk ini dalam sejarah pembentukan Republik Indonesia mendapat citra yang terkutuk, karena diusulkan oleh Belanda di masa 1945-49. Setelah 60 tahun nation building dalam rangka NKRI maka kelemahan struktur demikian tampak lebih jelas.  Dua provinsi yang kaya SDA tidak merasa keuntungannya lagi menjadi bagian dari NKRI dan gerakan separatismenya kuat.  Sentralisme dalam urusan pemerintahan juga menyebabkan bahwa kekayaan alam dari daerah tersedot ke pusat, dan Jawa mendapat bagian yang jauh lebih besar daripada hasil penerimaannya ketimbang daerah penghasil seperti Riau dan Kalimantan Timur. Riau adalah provinsi yang terkaya akan tetapi tingkat kemiskinan penduduk (asli) besar sekali.
Sekarang tampak solusi untuk perdamaian di Aceh, dan daerah ini akan diberi banyak wewenang baru, sehingga sudah ada kalangan yang menyebutnya penyelesaian ke arah federalisme terselubung.  Sebentar lagi Papua juga akan menuntut yang sama.  Apakah lalu harus disimpulkan bahwa ini bisa menjadi permulaan dari akhirnya NKRI?
Jawabnya, Tidak.  NKRI bisa tetap bertahan akan tetapi bentuk ke dalamnya akan lebih mirip federalisme.  Otonomi daerah bisa disebut federalisme terselubung.  Tetapi, kita bisa menjawab:  "So what"?, apa alternatipnya yang lebih baik?  Kita harus lepaskan pandangan bahwa "kalau tidak 100% NKRI maka itu bukan NKRI".  Kita harus bisa melihat perbandingan di lain-lain negara.  Di Inggris, misalnya Skotlandia punya mata uangnya sendiri, dewan perwakilan rakyat, gereja resmi dan team sepak bola internasional sendiri. Penduduk bagian lain dari Inggris, yakni Wales dan Irlandia Utara memandang dirinya ?bangsa? Wales, Irlandia, dsb-nya, tetapi memegang paspor Inggris Raya.  Kebangsaan dan sovereinitas tidak sama, melainkan saling melengkapi.  Maka kalau orang Aceh dan Papua minta diizinkan mempunyai benderanya sendiri, bahasanya sendiri, dan sebagainya, janganlah langsung memandang hal demikian mau keluar dari NKRI.
Yang sangat berhasil pada proyek NKRI adalah penetapan bahasa Indonesia, yang dasarnya bahasa Melayu, sebagai bahasa untuk seluruh bangsa.  Dalam hal ini maka suku bangsa terbesar, yakni Jawa, telah memberikan konsesi besar sekali untuk tidak menuntut bahasa Jawa menjadi bahasa nasional.  Bahasa Jawa jauh lebih sukar dan bernuansa feodal, artinya non-demokratis.  Sekarang, semua suku bangsa di Indonesia tidak merasa segan untuk berkomunikasi dalam bahasa nasional ini.  Bahwa di Jawa Tengah dan Timur masih banyak sekali orang pakai bahasa lokal, itu biarkan saja.
Dari segi ekonomi maka kriteria kesatuan negara adalah tidak adanya hambatan untuk lalu lintas perdagangan antar-daerah. Dalam praktek syarat ini kadang-kadang menghadapi masalah karena penyelundupan. Barang dari Singapura mudah bisa diselundupkan ke pulau-pulau dekat Sumatra, dan dari situ bebas masuk ke Jawa. Ini kadang-kadang mau dijegat.




2. 3. MASALAH DALAM PENGELOLAAN KEBIJAKAN DESENTRALISASI

Diatas telah coba kami sampaikan beberapa kendala ataupun kelemahan dari sistem desentralisasi, tetapi dalam hai ini juga kami ingin menekankan pelaksanaan sistem otonomi daerah dilakukan oleh manusia yang memiliki kekurangan dalam proses pelaksanaannya. Kekurangan tersebut teraplikasi dari kebijakan- kebijakan yang tidak sesuai atau tidak pas dalam kebutuhan daerah masing-masing. Berangkat dari hal ini maka timbullah masalah-masalah dalam pengelolahan kebijakan desentralisasi, antara lain :

2.3.1. Masalah peningkatan pelayanan publik
Permasalahan utama yang muncul adalah sebagaimana disampaikan oleh Presiden SBY[7]. Menurut Presiden, desentralisasi belum berhasil mewujudkan kesejahteraan umum, memperkuat tata kepemerintahan yang demokratis, meningkatkan pelayanan publik, dan dalam membangun daya saing daerah (Effendi, 2008). Apa yang dikemukakan oleh Presiden tersebut, khususnya dalam hal peningkatan pelayanan publik, disebabkan karena masih belum terintegrasinya SPM (PP No. 6/2005) dengan LAKIP (Inpres No. 7/1999), LPPD (PP No. 3/2007) dan EPPD (PP No. 6/2008) [8]

2.3.2. Masalah struktur kelembagaan
 Selain permasalahan tersebut, terdapat juga permasalahan yang terkait dengan struktur kelembagaan perangkat daerah dan permasalahan yang terkait dengan pemilihan kepala daerah. Dalam hal kelembagaan perangkat daerah, terdapat sejumlah permasalahan yang muncul selama ini, yaitu: [9]
(1)   kecenderungan daerah untuk menerapkan struktur gemuk;
(2)   nomenklatur struktur yang berbeda-beda sehingga menyulitkan koordinasi dan pembinaan;
(3)   struktur yang membutuhkan PNS yang banyak; serta
(4)   struktur organisasi yang belum sepenuhnya mengakomodasikan fungsi pelayanan publik yaitu penyediaan pelayanan dasar dan pengembangan potensi unggulan daerah.

2.3.3. Lemahnya koordinasi pembangunan
Selain permasalahan-permasalahan tersebut, Prasojo mengenai lemahnya koordinasi pembangunan dan institusi di daerah yang berlebihan dan terfragmentasi. Dalam hal lemahnya koordinasi pembangunan[10], otonomi daerah di Indonesia telah menyebabkan administrasi yang terfragmentasi dan tidak terkoordinasi di tingkat lokal. Masalah yang muncul tidak saja berupa tumpang tindih kewenangan antara Propinsi dan Kabupaten, tetapi juga kekosongan sub bidang kewenangan tertentu. Untuk urusan yang menghasilkan sumber penerimaan, hal ini dapat memicu dualisme pelaksanaan kewenangan. Sebaliknya, untuk untuk urusan yang menimbulkan biaya dan tidak menghasilkan sumber penerimaan, tidak ada level pemerintahan yang bersedia melaksanakannya. Dengan kata lain terjadi kekosongan dalam pelaksanaan kewenangan.
Tumpang tindih pelaksanaan kewenangan di daerah tersebut menurut Prasojo, tidak saja terjadi secara vertikal antara level pemerintahan, tetapi juga secara horizontal antar satu dinas dengan dinas lainnya. Reorganisasi dan pengelompokan dinas sebagai respon terhadap pemberian kewenangan di daerah juga menimbulkan tumpang tindih kewenangan antara satu dinas dengan dinas lainnya. Perbedaan interpretasi antara Kabupaten dan Propinsi mengenai substansi kewenangan telah menyebabkan dampak yang secara langsung dirasakan oleh masyarakat berupa berkurangnya atau kekosongan dalam pelayanan tertentu. Bahkan tidak sedikit dana-dana dekonsentrasi yang tidak terkoordinasi dengan pembangunan di tingkat lokal. Pada sisi lainnya, tingkat pengawasan dan koordinasi propinsi terhadap penyelenggaraan kewenangan di kabupaten dan kota mencapai titik yang sangat rendah setelah diimplementasikannya UU No. 22/1999. Propinsi yang seharusnya memiliki kewenangan yang kuat dan mengikat terhadap pembinaan, pengawasan, perizinan, standar dan sertifikasi di Kabupaten dan Kota dalam satu propinsi, menjadi tidak memiliki daya untuk menjadi koordinator pengembangan wilayah. Karenanya menurut Prasojo, solusi yang harus diambil adalah ketegasan dalam pembagian urusan atau kewenangan antara propinsi dan kabupaten kota, serta tata hubungan kewenangan antara asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi.
Pada sisi lainnya menurut Prasojo, pembagian kewenangan yang bersifat simetris untuk semua daerah otonom sebagaimana dianut oleh UU No. 22/1999 dan UU No. 32/2004 tidak sesuai dengan prinsip kemampuan daerah. Setiap daerah memiliki kewajiban yang sama untuk melaksanakan urusan. Faktanya adalah bahwa kemampuan finansial dan sumber daya manusia di setiap daerah tidaklah sama. Tuntutan kewajiban yang simetris dan kemampuan yang tidak simetris ini menimbulkan kesenjangan antara daerah. Kasus kurang gizi juga busung lapar yang terjadi beberapa waktu lalu bisa jadi merupakan indikasi awal kesenjangan antara kewajiban yang dibebankan dan kemampuan daerah otonom untuk melaksanakan kewajiban tersebut.
Sementara itu, dalam hal permasalahan yang terkait dengan institusi di daerah yang berlebihan dan terfragmentasi, Prasojo menyoroti permasalahan mengenai penyeragaman jumlah dinas dan pembidangan dalam dinas yang menurutnya memiliki dua masalah, yaitu:

1.      tidak memperhatikan keterkaitan luas wilayah, jumlah penduduk dan kompleksitas permasalahan; serta
2.      semangat desentralisasi politik melalui otonomi organisasi internal tidak dapat diwujudkan. Selain itu menurut Prasojo, bervariasinya struktur, nomenklatur dan jumlah kelembagaan di daerah menyebabkan tidak sinkronnya kelembagaan yang ada di daerah dan di pusat. Dampaknya kemudian menurut Prasojo menyebabkan ketidakmampuan kelembagaan daerah untuk menampung dan mengimplementasikan program dari pemerintah pusat yang didelegasikan ke daerah melalui tugas-tugas dekonsentrasi dari departemen sektoral.
Selain itu, beragamnya nomenklatur organisasi antara pusat, propinsi, dan Kabupaten/Kota juga telah mengakibatkan koordinasi, tupoksi dan pelaksanaan teknis operasional antar dan intra tingkatan menjadi kurang lancar dan kurang efisien. Hubungan antar lembaga di daerah membutuhkan waktu yang cukup lama. Karena itu, masalah yang ditimbulkan dari beragamnya struktur dan nomenklatur lembaga di daerah Kabupaten dan Kota terletak pada koordinasi, sinkronisai dan kerjasama antar daerah Kabupaten/Kota. Demikian juga koordinasi antara Kabupaten dan Propinsi dalam rangka penyelenggaraan kewenangan. Dampak variasi struktur dinas ini diperburuk dengan lemahnya hubungan antara propinsi dan kabupaten, fungsi Gubernur sebagai kepala wilayah tidak dapat dioptimalkan.

2.3.4. Arsitektur Legal bagi Desentralisasi
Dalam hal arsitektur legal bagi desentralisasi ini, terdapat sejumlah permasalahan yang terkait dengan konflik berbagai peraturan perundang-undangan sektoral dengan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah, serta permasalahan yang terkait dengan banyaknya Perda yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Prasojo, 2008). Konflik antara berbagai peraturan perundang-undangan sektoral dengan peraturan perundang-undangan mengenai desentralisasi dan otonomi daerah menurut Prasojo (2008) merupakan salah satu masalah utama dalam pelaksanaan Otonomi Daerah. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak harmonis, tidak konsisten  dan kontradiksi sejak implementasi UU No. 22/1999 dan dilanjutkan dengan UU No. 32/2004.  Tidak terkonsolidasinya dan tidak harmonisnya berbagai peraturan perundang-undangan ini  menurut Prasojo (2008) terjadi baik secara vertikal maupun secara horizontal. Secara vertikal  terjadi antara Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri  sampai pada Peraturan Daerah. Sedangkan secara horizontal terjadi antara Undang-Undang  Pemerintahan Daerah dengan Undang-Undang sektoral lainnya. Pada sisi lainnya menurut  Prasojo (2008), perubahan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat terjadi dengan  sangat cepat dan zig-zag, sehingga menyebabkan kebingungan di kalangan pemerintah  daerah. Permasalahan lainnya adalah penegakkan peraturan perundang-undangan yang tidak  konsisten, sehingga ketentuan-ketentuan implementasi desentralisasi seringkali berada dalam  ruang yang hampa (vacuum). Berbagai kelemahan tersebut menyebabkan implementasi  desentralisasi Indonesia mengalami distorsi, bahkan kontradiktif dengan tujuan-tujuan  desentralisasi itu sendiri.  Berdasarkan situasi permasalahan tersebut, maka menurut Prasojo (2008) tujuan utama dan keluaran yang harus dicapai dalam pengembangan desentralisasi pada masa yang akan datang adalah:
(1) Terjadinya konsolidasi dan harmonisasi berbagai peraturan perundangundangan tentang desentralisasi baik secara vertikal maupun secara horizontal;
(2) terimplementasinya secara konsisten berbagai peraturan perundang-undangan tentang desentralisasi; serta
(3) terkoordinasinya secara baik berbagai urusan pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Sementara itu, terkait dengan maraknya Perda yang bertentangan dengan Hirarkhi Perundang-Undangan, tim revisi UU No. 32/2004 mencatat sejumlah permasalahan yakni:
(1) banyaknya Perda atau usulan Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan yang lebih tinggi;
(2) Perda yang tidak pernah dilaporkan;
(3) Pengawasan Perda yang lemah; serta
(4) Mekanisme pembatalan Perda yang tidak jelas. Karenanya, tim revisi UU
No. 32/2004 memandang perlu kejelasan alat kontrol terhadap penyusunan dan pelaksanaan Perda.
     Sejalan dengan pandangan tim revisi UU No. 32/2004 tersebut, Prasojo (2008) mengemukakan bahwa baik di negara federal maupun di negara kesatuan, hubungan antar produk peraturan perundang-undangan antar tingkat pemerintahan harus didasarkan pada  prinsip/asas homogenitas. Sesuai dengan asas homogenitas ini, maka setiap kebijakan yang  lebih rendah harus menyesuaikan dan tidak boleh bertentangan dengan kebijakan yang lebih  tinggi. Artinya, kebijakan di tingkat lokal tidak boleh bertentangan dengan kebijakan di tingkat  nasional. Terlebih lagi pada Negara kesatuan, dimana kedaulatan absolut berada di level  pemerintah pusat, sehingga semua kebijakan dan peraturan perundang-undangan yang dibuat
oleh pusat (Undang-Undang, Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan  Menteri) adalah memiliki legitimasi dan menjadi acuan bagi semua level pemerintahan yang  lebih rendah.  
                 Lebih lanjut, Prasojko menyatakan bahwa dalam konteks negara kesatuan, otonomi yang dimiliki oleh pemerintah daerah tidaklah bersifat asli (origin), melainkan pemberian dari pemerintah pusat. Daerah otonom merupakan bentukan dari pemerintah pusat melalui Undang-Undang Pembentukan Daerah Otonom. Begitu juga dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah merupakan pendelegasian/pelimpahan yang diberikan oleh pemerintah pusat. Karenanya, status daerah otonom dan otonomi daerah, termasuk kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah bersifat ”dipinjamkan” dan dapat ditarik kembali oleh pemerintah pusat, jika Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat (juga Dewan Perwakilan Daerah) berkehendak dan bersepakat untuk menarik kembali status daerah otonom yang dimiliki oleh pemerintah daerah tersebut.
                 Kedudukan dan status daerah otonom tersebut menurut Prasojo (2008) berlaku untuk semua daerah otonom, tidak terkecuali. Karenanya, semua kebijakan dan peraturan perundang undangan yang dibuat oleh pemerintah pusat berlaku juga untuk setiap level pemerintahan di  tingkat propinsi dan kabupaten/kota, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang. Untuk itu, jika  kemudian terdapat berbagai macam peraturan daerah yang menyimpang dengan ketentuan Konstitusi dan Peraturan Perundang-undangan, maka hal ini harus diuji oleh Pemerintah Pusat  sebagai pihak pemberi otonomi tersebut. Jika berdasarkan hasil pengujian tersebut ternyata sebuah Perda nyata-nyata melanggar prinsip-prinsip dasar dalam konstitusi dan juga ketentuan  perundang-perundangan di tingkat nasional, maka menurut Prasojo (2008) pemerintah pusat  dapat membatalkan peraturan daerah tersebut. Dalam pandangan Prasojo (2008) kehidupan  berbangsa dan bernegara harus didasarkan pada norma-norma yang disepakati bersama (yang  kita sebut konstitusi dan UU), sehingga keutuhan berbangsa dan bernegara tersebut tetap dapat  dipertahankan. Dalam hal ini menurut Prasojo (2008) pemerintahan daerah dalam menyusun peraturan daerah harus memperhatikan prinsip homogenitas, yaitu kesesuaian dengan norma dan prinsip sebagaimana diatur di tingkat nasional. Artinya, baik meyangkut proses pembentukannya, maupun materi dan substansinya harus berdasarkan pada ketentuan yang ditingkat pusat (aspek yuridis) serta memperhatikan aspek filosofis dan sosiologis masyarakat yang akan menjalankan ketentuan tersebut.

v  Solusi untuk mengatasi masalah Perda
            Ditinjau dari kendala diatas dapat kita lihat bahwa kurangnya koordinasi antara pusat dan daerah di Negara Indonesia ini meninmbulkan  ketumpang-tindihan dari perda yang telah dibuat oleh pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Untuk itu dalam kesempatan ini kami coba memaparkan solusi untuk mengatasi masalah perda ini.
Kedua pengawasan ini  menurut Prasojo (2008) pernah diterapkan di Indonesia baik secara sendiri-sendiri maupun  secara hybrid. Secara teoritik, pengawasan represif memiliki muatan yang lebih besar untuk  meningkatkan otonomi daerah, dimana daerah otonom dapat menetapkan peraturan daerah  tanpa persetujuan pemerintah pusat terlebih dahulu. Pembatalan hanya akan dilakukan jika  menurut pemerintah pusat perda tersebut melanggar peraturan perundangan-undangan yang  lebih tinggi. Pengawasan yang demikian memiliki sisi negatif, karena kemampuan pemerintah pusat yang terbatas untuk melakukan pengawasan dan pembatalan terhadap perda-perda yang  sudah ditetapkan. Pada sisi lainnya pembatalan sebuah perda yang sudah berlaku tidaklah  mudah, karena harus melakukan perubahan sistem yang berlangsung. Itu sebabnya menurut  Prasojo(2008) banyak perda-perda yang sudah dibatalkan oleh pemerintah pusat tetapi tetap  diberlakukan oleh pemerintahan daerah. Sebaliknya, pengawasan preventif memang memiliki  keterbatasan yaitu otonomi daerah yang semakin tergantung dengan pemerintah pusat.  Peraturan daerah hanya dapat ditetapkan jika sudah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Hal ini lazimnya membutuhkan waktu yang lama, sampai dilakukannya review dan  dinyatakan oleh pemerintah pusat dapat diberlakukan. Meskipun demikian ada jaminan bahwa  perda yang ditetapkan dan diberlakukan akan sesuai dengan peraturan perundang-undangan  yang lebih tinggi, sehingga tidak dapat dibatalkan oleh pemerintah pusat kecuali terjadi  perubahan dasar hukum tersebut di tingkat pusat.
2.3.5. Reformasi Kewilayahan (Pemekaran Daerah)
            Pada dasarnya penggunaan prinsip desentralisasi dengan otonomi daerah adalah guna memberikan kesempatan kepada daerah untuk mandiri dalam mengelolah sumber daya yang terdapat di daerahnya masing-masing, guna menyejahterahkan daerahnya khususnya daerah yang baru melakukan pemekaran wilayah. Tetapi kenyataannya tidak sesuai dengan yang diharapkan, banyak DOB yang semakin terpuruk ketika diberikan otonomi.
Menyangkut issu pemekaran daerah, dari berbagai literatur yang ada ditemukan sejumlah informasi mengenai pertumbuhan DOB selama kurun waktu 2000-2007. Pada kurun waktu ini kecuali pada tahun 2006 selalu terdapat pembentukan DOB. Pada kurun waktu tersebut setiap tahunnya terbentuk 13-40 DOB baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Pertumbuhan dari DOB ini pada kenyataannya menimbulkan sejumlah permasalahan. Hal ini misalnya dapat dilihat dari hasil evaluasi yang dilakukan oleh Bappenas pada tahun 2008.
Berdasarkan dari gambaran permasalahan di atas dapat dilihat bahwa pemekaran daerah telah menjadi simbol pelaksanaan otonomi daerah. Hal ini disebabkan karena melalui pemekaran akan memunculkan kewenangan baru, jabatan-jabatan baru, DAU baru, Dana Perimbangan Baru, Dana Dekonsentrasi baru dan hal-hal lain sebagai konsekuensinya. Problem pemekaran muncul sebagai akibat dari kepentingan politik elite yang lebih menonjol daripada kepentingan kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, pemekaran secara politis sering diartikan sebagai pembukaan lapangan pekerjaan politik menjadi anggota DPRD dan lapangan jabatan baru lainnya yang muncul sebagai konsekuensi terbentuknya Daerah Otonom.
Berdasarkan hasil evaluasi yang dilakukan oleh Bappenas tersebut, ditemukan sejumlah fakta terkait dengan pembentukan DOB sebagai berikut:
(1) Pemekaran daerah belum secara optimal dapat mendorong berkembangnya sumber-sumber pertumbuhan ekonomi. Hal ini ditandai dengan kecenderungan penurunan jumlah unit usaha di daerah pertambangan/perkebunan, tetapi meningkat pada daerah perdagangan. Selain itu, pengeluaran rumah tangga juga cenderung menurun
(2) Pemekaran daerah meningkatkan alokasi anggaran nasional ke daerah namun belum memberikan dampak yang lebih baik terhadap perkembangan keuangan pemerintah daerah. Hal ini ditandai dengan independensi fiskal yang rendah, belanja daerah yang meningkat, peran Pemda yang meningkat dalam perekonomian tetapi peran swasta rendah dalam perekonomian
(3) Pemekaran daerah meningkatkan ketersediaan layanan publik utamanya yang bersifat fisik seperti fasilitas pendidikan, kesehatan dan fasilitas umum lainnya. Namun demikian, kendala yang masih dihadapi adalah dalam hal penyediaan tenaga pelayanan publik yang memadai. Terkait hal ini, terdapat kecenderungan semakin baik untuk tingkat SD, sementara untuk pendidikan menengah cenderung turun ataupun stagnan. Dalam hal tenaga pelayanan publik di bidang kesehatan cenderung menurun
(4) Pemekaran daerah memang mendekatkan jarak rentang kendali, tetapi dilain pihak meningkatkan biaya transportasi Permasalahan yang dihadapi terkait dengan pembentukan DOB juga dapat dilihat dari hasil kajian tim revisi UU No. 32/2004.
Selain itu menurut Prasojo (2008, 20), inisiatif RUU pemekaran daerah jika dilihat dari landasan filosofis dan yuridis otonomi daerah, sebaiknya dilakukan melalui satu pintu oleh pemerintah. Hal ini karena otonomi daerah pada hakekatnya merupakan transfer kewenangan dalam cabang kekuasaan eksekutif. Terbukanya dua pintu inisiatif pemekaran menimbulkan banyak persoalan antara lain  :[11]
(1)               pembahasan ganda baik oleh pemerintah dan DPR terhadap daerah yang akan dimekarkan, karena satu daerah bisa mengusulkan lewat dua pintu. Hal ini berarti inefisiensi anggaran dan potensi terjadinya tumpang tindih pembahasan;
(2)               pengetahuan terhadap kondisi pemerintahan daerah berada di tangan pemerintah, sehingga selayaknya insiatif ini berasal pemerintah dan bukan DPR;
(3)               daerah yang gagal melalui pintu pemerintah dapat mengusulkan kembali lewat DPR dan atau sebaliknya sebagai taktik. Praktek politik uang dapat saja terjadi untuk melakukan tekanan agar usulan pemekaran disetujui oleh salah satu pemegang hak inisiatif;
(4)               pengetahuan terhadap kemampuan keuangan negara untuk membiayai pemekaran dimiliki oleh pemerintah, sehingga selayaknya analisis untuk pemekaran dimulai dari pemerintah dan bukan DPR.
Implementasi kebijakan pemekaran daerah mengalami permasalahan menurut Prasojo (2008, 21), akibat pemerintah pusat tidak melakukan evaluasi menyeluruh terhadap daerah yang dimekarkan. Evaluasi ini dibutuhkan agar diperolah gambaran apakah pemekaran memberikan dampak yang positif bagi masyarakat, atau sebaliknya hanya memberikan keuntungan kepada sejumlah elite. Melalui evaluasi yang komprehensif ini dapat diambil langkah-langkah secara cepat dan tepat dalam mengatasi persoalan yang muncul. Pada saat yang sama menurut Prasojo (2008, 21), tuntutan pemekaran terus dilakukan karena daerah merasa proses dan syarat pemekaran dalam peraturan perundang-undangan yang ada relatif mudah. Hal ini menimbulkan efek domino pemekaran daerah. Kemudahan persyaratan dan proses persetujuan pemekaran, disertai dengan ketiadaan evaluasi menyebabkan pemekaran terus berlangsung tanpa diketahui posisi keberhasilan atau kegagalan pemekaran.
Dalam konteks penyelenggaraan pemerintahan secara nasional menurut Prasojo (2008, 21), perlu dikembangkan diskursus tentang keterbatasan kemampuan keuangan negara (state limit) untuk membiayai pemekaran. Sehingga pemekaran daerah harus dilakukan secara hatihati dengan memperhatikan kemampuan pembiayaan negara. Pemekaran tidak boleh menyebabkan efek kontraproduktif bagi pembangunan secara nasional. Bagaimanapun, apabila negara sudah tidak mampu membiayai pemekaran karena keterbatasan keuangan negara, maka pemekaran tidak boleh dipaksakan untuk dilakukan. Selain itu menurut Prasojo (2008, 21), perlu juga diwacanakan dan pemberian insentif bagi penggabungan daerah.

v  Penyebab terjadinya kegagalan DOB
Terdapat sejumlah permasalahan menyangkut pembentukan DOB menurut tim revisi UU No. 32/2004 sebagai berikut:
 (1) pembentukan DOB cenderung kurang terkendali dan hanya didorong oleh kepentingan elite politik dan birokrasi;
(2) pembentukan DOB sering berdampak negatif terhadap daerah induk dan daerah baru terkait dengan penurunan kualitas pelayanan publik, konflik yang muncul sebagai ekses dari pemekaran, dan proliferasi kecamatan dan kelurahan/desa yang diperlukan untuk memenuhi persyaratan;
 (3) biaya pemerintahan cenderung menjadi semakin mahal karena semakin banyak biaya birokrasi dan aparatur yang harus ditanggung oleh pemerintah; serta
(4) pengaturan pemekaran dalam PP No. 78/2007 seringkali kalah dengan ketentuan dalam UU No. 10/2004.

3.2.6. Pembagian Urusan (Functional Assignment)
Seperti halnya dengan pembentukan DOB, masalah pembagian urusan pun masih menjadi masalah utama dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah selama ini. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah permasalahan yang masih dan terus dihadapi terkait dengan masalah pembagian urusan ini.
Suwandi (2008) misalnya, mencatat sejumlah permasalahan dalam hal pembagian urusan sebagai berikut:
(1)   terdapat 31 urusan yang telah didesentralisasikan ke daerah;
(2)   terjadi tumpang tindih antar tingkatan pemerintahan dalam pelaksanaan urusan tersebut sebagai akibat dari belum sinkronnya UU yang mengatur tentang otonomi daerah dengan UU sektor;
(3)   terjadi tarik menarik urusan, khususnya pada urusan-urusan yang mempunyai potensi pendapatan (revenue);
(4)   adanya gejala keengganan dari departemen/LPND untuk mendesentralisasikan urusan secara penuh karena kekhawatiran daerah belum mampu melaksanakan urusan tersebut secara optimal; serta
(5)   tidak jelasnya mekanisme supervisi dan fasilitasi oleh departemen/LPND terhadap daerah akibat ketidakjelasan mekanisme koordinasi antara Depdagri sebagai pembina umum dengan departemen/LPND sebagai pembina teknis.



2.3.7. Kerjasama Antar Daerah
Dalam hal kerjasama antar daerah, sebagaimana telah dikemukakan dalam bagian terdahulu, terdapat sejumlah permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan kerjasama antar daerah, yaitu:
(1) bahwa pemerintah maupun pemerintah daerah belum terlalu memposisikan kerjasama antar daerah sebagai salah satu alternatif dalam pelaksanaan pembangunan; serta
(2) bentukan kerjasama yang telah ada saat ini berkembang secara sporadis dan biasanya murni hanya berdasarkan inisiatif dari pemerintah daerah.
Kondisi ini juga dipertegas dengan pandangan dari tim revisi UU No. 32/2004 yang mengemukakan sejumlah permasalahan menyangkut kerjasama antar daerah, yaitu:
(1) adanya keengganan daerah untuk melakukan kerjasama dalam penyelenggaraan pelayanan publik; serta
(2) kerjasama antara daerah dengan swasta yang belum diatur dengan jelas.

2.3.8. Peran Masyarakat Madani
Terkait dengan peran masyarakat madani dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia selama ini, dapat dikatakan bahwa peran masyarakat madani masih sangat jauh dari yang diharapkan. Hal ini setidaknya dapat dilihat dari pandangan Prasojo (2008) yang mengemukakan bahwa hampir di semua daerah tidak ditemukan Perda yang mengatur tentang partisipasi masyarakat dalam pemerintahan. Padahal menurut Prasojo, Perda merupakan sarana hukum yang penting bagi jaminan pengakuan keterlibatan masyarakat dalam pemerintahan. Selama inimenurut Prasojo (2008), ruang bagi publik untuk berpartisipasi dilakukan oleh masyarakat secara spontan melalui beberapa sarana. Diantara sarana utama yang dipergunakan sebagai media partisipasi menurut Prasojo adalah sarana public hearing di DPRD, pengaduan di kotak-kotak saran, dan melalui lembaga-lembaga resmi lainnya di desa seperti Badan Permusyawaratan Desa. Meskipun demikian keterlibatan masyarakat tersebut belum sampai pada tahapan citizen control, melainkan hanya sampai pada tingkat informasi dan konsultasi saja. Pandangan dari Prasojo tersebut juga sejalan dengan pandangan dari tim revisi UU No. 32/2004. Menurut tim revisi UU No. 32/2004 terdapat sejumlah permasalahan yang terkait dengan peran masyarakat madani dalam pemerintahan, yakni: (1) tidak ada pengaturan yang menghubungkan antara pemerintah daerah dan masyarakat madani; (2) tidak ada cukup tersedia informasi tentang kegiatan pemerintahan bagi masyarakat madani; serta (3) proses kebijakan di daerah yang masih lebih banyak mewakili kepentingan elite politik daripada kepentingan publik.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah selama ini, masih ditandai dengan sedikitnya akses dan kesempatan yang dimiliki oleh masyarakat untuk mempersoalkan kinerja pemerintah daerah. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang dilakukan Yappika (2006) di 15 kabupaten/kota. Pada semua daerah yang diteliti tidak ditemukan adanya mekanisme dan prosedur yang terlembaga yang memungkinkan masyarakat melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintah. Pemerintah daerah masih belum memiliki mekanisme keluhan (complaint mechanism) yang memungkinkan masyarakat menyampaikan keluhan terhadap kinerja pemerintah.

2.3.8.  Menurut Pandangan Rondinelli, Nellis, dan Cheema
Sejalan dengan pandangan Rondinelli, Nellis dan Cheema tersebut,[12] menawarkan lima karakteristik yang harus dipertimbangkan dalam mendesain kebijakan desentralisasi yang demokratis yakni: (1) kerangka hukum yakni pembentukan reformasi konstitusi dan hukum untuk melimpahkan kekuasaan kepada struktur lokal; (2) kapasitas tata kelola pemerintahan di tingkat lokal yakni dengan meningkatkan kemampuan aktor lokal untuk bertindak (baik dari sisi sumberdaya keuangan dan manusia, organisasi, dan kewenangan); (3) peningkatan akuntabilitas pemerintahan daerah; (4) peningkatan peranan masyarakat sipil (merupakan praktek dari desentralisasi horisontal/pemberdayaan masyarakat); serta (5) peningkatan kehidupan sosial ekonomi (kualitas hidup) masyarakat.


2.4. HAL-HAL YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PELAKSANAAN DESENTRALISASI

Penyelenggaraan pemerintahan daerah sebagai pelaksanaan asas desentralisasi telah diterima sebagai suatu hal yang bersifat universal dan dilaksanakan oleh hampir semua negara di dunia. Hal ini disebabkan oleh fakta bahwa tidak semua urusan pemerintahan dapat diselenggarakan secara sentralisasi, mengingat kondisi geografis, kompleksitas perkembangan masyarakat, kemajemukan struktur sosial dan budaya lokal serta adanya tuntutan demokratisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan [13] . Melalui pelaksanaan asas desentralisasi ini diharapkan dapat meningkatkan baik efektivitas dan efisiensi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan maupun partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan tersebut.
Kondisi yang ingin dicapai melalui pelaksanaan desentralisasi tersebut, tentu saja tidak begitu saja dapat terwujud, melainkan akan sangat tergantung kepada bagaimana pengaturan berbagai faktor yang dianggap penting dalam pelaksanaan asas desentralisasi tersebut. Terdapat setidaknya enam faktor penting yang dinilai dapat menunjang keberhasilan pelaksanaan desentralisasi di sebuah negara. Keenam faktor tersebut adalah [14]
(1)      tingkatan dimana desentralisasi dapat memberikan kontribusi dalam pencapaian sasaran luas dari politik seperti mempromosikan stabilitas politik, memobilisasi dukungan dan kerjasama untuk kebijakan pembangunan nasional; memberikan dukungan bagi kelangsungan sistem politik melalui dukungan daerah, kepentingan dan komunitas yang heterogen;
(2)      tingkatan dimana desentralisasi dapat meningkatkan efektivitas administrasi seperti mempromosikan koordinasi yang lebih luas diantara unit pemerintah pusat, unit pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat serta mendorong kerjasama yang lebih erat diantara organisasi untuk dapat mencapai tujuan pembangunan yang telah disepakati bersama;
(3)      tingkatan dimana desentralisasi dapat memberikan kontribusi dalam mempromosikan efisiensi manajerial dan ekonomi dengan cara memberikan kesempatan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk mencapai tujuan pembangunan dalam cara yang paling efisien;
(4)      tingkatan dimana desentralisasi dapat meningkatkan responsivitas pemerintah terhadap kebutuhan dan permintaan dari berbagai kelompok kepentingan dalam masyarakat;
(5)      tingkatan dimana desentralisasi dapat memberikan kontribusi akan penentuan nasib sendiri dan kemandirian dari pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat dalam mempromosikan pembangunan atau dalam memenuhi kebutuhan yang bernilai tinggi dari masyarakat; serta
(6)      tepatnya cara yang digunakan dimana kebijakan dan program telah didefinisikan, didesain dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan desentralisasi.







BAB III
 Penutup

3.1. Simpulan
            Dari hasil pemaparan yang telah kami jelaskan di atas maka kami dapat mengambil kesimpulah bahwa benar memang di dalam UUD 1945 atau UU No.32 Tahun 2004 bahwa Negara Republik Indonesia menggunakan Prisip Desentralisasi  dengan otonomi daerah. Tetapi dalam praktiknya hal tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan.  Terdapat banyak hal yang menyebabkan proses pelaksanaan Desentralisasi itu tidak terlaksana. Bukan hanya pengaruh dari luar tetapi prinsip Desentralisasi dengan otonomi daerah tersebut juga memiliki kelemahan-kelemahan antara lain :
1.      Terjadinya politik kekuasaan
2.      Potensi konflik di daerah
3.      SDM dalam hal pelayanan public
4.      Desentralisasi korupsi
Kekurangan ataupun kelemahan tersebut pada akhirnya menimbulkan masalah atau kendala-kendalam dalam pelaksanaannya, antara lain :
1)      Beberapa kendala yang masih dihadapi dalam pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia saat ini adalah timbulnya peluang desentralisasi korupsi, potensi konflik di daerah serta belum siapnya sumber daya manusia yang terkait dengan pelayanan publik.
2)      Untuk mewujudkan otonomi daerah yang berlandaskan pemerintahan yang baik di masa mendatang, maka harus ada kerjasama yang bersifat sinergis antara negara melalui  pemerintah pusat dan daerah dengan masyarakat yang mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi dengan elemen-elemennya, seperti legitimasi, akuntabilitas, perlindungan hak asasi manusia, kebebasan, transparansi, pembagian kekuasaan dan kontrol masyarakat.
Oleh Karen itu, pelaksanaan Desentralisasi dengan otonomi yang dilakukan di daerah sebenarnya dilakukan dengan harapan untuk menyejahterhkan wilayah-wilayah daerah masing-masing dengan memberikan kemandirian pada daerah-daerah otonom untuk mengelolah sendiri sumber daya alamnya. Tetapi kendala-kendala yang ada membuat proses otomisasi ini tidak semudah itu.

3.2. Saran
Berangkat dari kesimpulan di atas maka kami coba memberikan berberapa pendapat yang dapat mengatasi kendala-kendala yang di hadapi dalam pelaksanaan sistem desentralisasi dengan otonomi daerah.
- solusi untuk mengatasi permasalahan tentang DOB
Untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait dengan pembentukan DOB ini, terdapat sejumlah usulan. Usulan tersebut diantaranya sebagaimana dapat dilihatdari hasil FGD yang  pernah dilakukan oleh Direktorat Otda Bappenas sebagai berikut:
(1)   perlu diketahui jumlah  kabupaten/kota dan provinsi yang ideal;
(2)   pemekaran hendaknya mempertimbangkan dampaknya terhadap SDA dan lingkungan hidup;
(3)   pemekaran juga hendaknya mempertimbangkan sisi ekonomi pembangunan selain ekonomi publik;
(4)   prosedur dan mekanisme penghapusan dan penggabungan diarahkan agar terintegrasi dengan pemekaran daerah; serta
(5)   kemandirian fiskal hendaknya tidak diterjemahkan sebagai tambahan jenis
pajak dan retribusi daerah.
Untuk mengatasi maraknya Perda yang bermasalah ini, maka menurut Prasojo (2008) Pemerintah Pusat dapat melakukan pengawasan Perda menjadi dua yaitu:
 (1) pengawasan  yang bersifat preventif; serta
 (2) pengawasan yang bersifat represif.

DAFTAR PUSTAKA

-          Jimly Asshiddiqie.  2008. Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia.  BIP Sekelompok Gramedia :Jakarta
-          Kansil, C.S.T.  1983. Hukum Tata Pemerintahan Indonesia.Ghalia Inonesia: Jakarta Timur
-          Koesoemahatmadja, RDH. 1979. Pengantar Kearah Sistim Pemerintahan Daerah Di Indonesia. Binacipta: Bandung
-          Kansil, C.S.T. 1991. Pokok-Pokok Pemerintahan Di Daerah. Rineka Cipta: Jakarta
-          Sarundajang. 2002. Arus Balik Kekuasaan Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar Harapan : Jakarta
-          Solly, M. Lubis.1997. Pembahasan UUD 1945. Alumni:Bandung
-          Supriatna, Tjahya. 1996. Sistem Administrasi Pemerintahan Di Daerah. Bumi Aksara: Jakarta
-          Soehino. 2010. Hukum Tata Negara: Perkembangan dan Pengaturan Mengenai Pelaksanaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Yogyakarta: BPFE.
-          Siswanto Sunarno. 2009. Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia. Jakarta: sinar grafika
-          Wahjono, Padmo. 1985. Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini. Ghalia Indonesia : Jakarta Timur
-          Widjaja, H.AW. 2002. Pemerintahan Desa dan Administrasi Desa. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
-          Yudoyono, Bambang. 2001. Otonomi Daerah. Pustaka Sinar Harapan: Jakarta
-          Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945
-          Undang-Undang 32 tahun 2004



[1] Uu no. 32 Thn 2004
[2] Uu no. 32 thn 2004
[3]  laporan dari Radio 68H di Jakarta.
[5] Sumber : The Habibie Center

[6] (sumber acuan http://www.kompas.com Kamis, 02 Juni 2005).
[7] Pidatonya di Batu Licin pada 25 April 2008
[8] menurut Effendi (2008)
[9] (Suwandi, 2008)
[10] menurut Prasojo (2008)
[11] (Prasojo, 2008, 20-21)
[12] Kauzya (2005, 910)
[13] (Prasojo, Maksum dan Kurniawan, 2006, 1)
[14] Rondinelli, Nellis dan Cheema (1983, 34-35)