Cari Blog Ini

Jumat, 27 Januari 2012

analisi uu no. 23 tahun 2003 tentang pemilihan umum

ABSTRAK

Dalam undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden diatur mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik bagi bangsa Indonesia menuju kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab. Oleh karena itu untuk menjamin pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang berkualitas, memenuhi derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan, perlu disusun suatu undang-undang tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden merupakan suatu rangkaian dengan pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dilaksanakan sekali dalam 5 tahun. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat akan memberikan legitimasi yang kuat kepada Presiden dan Wakil Presiden terpilih dalam menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintahan negara.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) beserta perangkatnya sebagai penyelenggara pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD adalah juga penyelenggara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang massa kerjanya disesuaikan dengan ketentuan Undang-Undang ini. Ketentuan tentang KPU beserta perangkatnya sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD berlaku juga dalam UU ini dan ketentuan yang belum diatur dalam UU No.12 tahun 2003 diberlakukan ketentuan dalam UU ini.
    Dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum bukan hanya mengatur tentang pemberian sanksi administrasi saja tetapi juga terdapatnya pengaturan tentang pemberian sanksi pidana pada pelanggar uu pemilihan umum ini. Itu dapat terlihat dari adanya ketentuan pidana yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum. Yang menjadi pertanyaan apakah yang menjadi alasan adanya ketentuan pidana dalam peraturan perundang-undangan non pidana khususnya UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum.


BAB I
PENDAHULUAN

1.1    Latar Belakang
    Setelah runtuhnya Orde Baru, Indonesia menghadapi masa transisi menuju  orde yang lebih baru lagi atau biasa disebut dengan orde Reformasi. Berdasarkan  namanya yaitu Reformasi, berarti Indonesia sedang berada diwilayah perubahan  baik itu perubahan sistem pemerintahan, ekonomi, maupun politik. Bagi para ahli  dan praktisi, puncak simbolik perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia  setidaknya berkaitan dengan dua hal, yaitu: konstitusi dan lembaga kepresidenan.  Undang-undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang selama Orde Baru cenderung  disakralkan, sekarang sudah mengalami proses desakralisasi melalui perubahan  pertama yang dilakukan dalam Sidang Umum MPR pada bulan Nopember 1999. 
Alasan untuk mengamandemen UUD 1945 adalah menutup kemungkinan  terbuka kembali peluang berkembangnya penyelenggaraan Negara yang kurang demokratis sebagaimana yang telah terjadi pada masa Orde Baru, penyempurnaan  konstitusi melalui amandemen diharapkan mampu mengawal proses transisi era yang lebih demokratis.
Perubahan sistem ketatanegaraan Indonesia pasca runtuhnya Orde Baru yang  menurut para ahli dan praktisi juga penting adalah mengenai lembaga  kepresidenan, baik itu mengenai pembagian tugas dan kewenangan Presiden dengan Wakil Presiden, ataupun mengenai syarat calon Presiden hingga pemilihan Presiden yang langsung dipilih oleh rakyat dalam satu paket dengan Wakil Presiden.
Bagi rakyat yang terpenting adalah sistem kepresidenan yang secara kasat  mata dapat dilihat sendiri oleh mereka, baik mengenai kepribadiannya,  intelektualitas dan kemampuan manajerialnya, serta ketulusan dan kinerja  kepemimpinannya, yang dapat memberikan harapan dan optimisme, dan sekaligus  mengundang kepercayaan dari seluruh rakyat untuk memberikan dukungan. Didalam Undang-undang Republik Indonesia 1945 pasca amandemen,  peraturan mengenai pemilihan Presiden secara langsung terdapat pada Pasal 6A ayat (1) perubahan ketiga yang berbunyi, “Presiden dan Wakil Presiden dipilih  dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Sedangkan tata cara  pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden lebih lajut diatur dalam  Undang-undang (Pasal 6A ayat (5) Undang-Undang Dasar 1945).
Pada pemilihan Presiden tahun 2004, Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini merupakan sejarah bagi ketatanegaraan Indonesia didalam memilih Presiden  dan Wakil Presiden, karena pemilihan langsung tersebut baru pertama kalinya  dilaksanakan di Indonesia. Sedangkan Undang-Undang nomor 23 Tahun 2003  menjadi dasar hukum bagi pelaksanaan tata cara pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2004. 
Dalam Perundangan–undangan pidana positif, sebagai satu bidang hukum yang menggunakan sistem sanksi sebagai penguatnya, ialah sanski yang bersifat kepidanaan. Sanksi ini akan menjadi tumpuan harapan, manakala sanksi-sanksi dalam bidang hukum lainnya tidak mampu merubah bentuk-bentuk perilaku yang bersifat soial menjadi taat terhadap norma-norma hukum yang mengaturnya. Hukum pidana positif di indonesia selama ini menganut dua jalur sistem ialah sistem pidana dan sistem tindakan.
Dengan sistem pidana dimaksudkan sebagai suatu sistem sanksi  dimana pihak yang melanggar norma-norma undang- undang pidana diancam dengan seperangkat pidana yang bervariasi dari bentuk pidana pokok dan pidan tambahan. Sedangkan sistem tindakan ialah suatu sistem perlindungan masyarakat terhadap bentuk perbuatan yang dilakukan seseorang yang bersifat sosial dan pelakunya memiliki sifat-sifat/kondisi khusus, yang tidak memungkinkan digunakannya sistem sanski pidana.
Dalam UU 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum juga memuat tentang ketentuan pidana padahal UU ini bukanlah UU pidana melainkan UU administratif tetapi mengatur juga mengenai ketentuan pidana.


1.2    Rumusan Masalah
Dalam penulisan makalah ini maka permasalahan yang hendak dijawab adalah:
1.2.1  Bagaimana analisa mengenai keberadaan Aspek pidana dalam  pelaksanaan Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil    Presiden.
1.2.2    Bagaimanakah Pelaksanaan Ketentuan Aspek Pidana yang terkandung dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan  Wakil Presiden.
1.2.3    Apakah Keberadaan Aspek Pidana tersebut dapat berupa pengaturan yang menghasilkan suatu sifat kepastian hukum atas pelanggaran yang terjadi.

1.3    Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
1.3.1    Untuk mengetahui Aspek hukum pidana yang terdapat di dalam Undang-undang
1.3.2    Untuk melihat sejauh mana pengaturan pidana yang terkandung didalam Undang-Undang yang berlaku.
1.3.3      Untuk Mengetahui Penyebutan subjek yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 dalam hal pemidanaannya.

1.4    Manfaat Penulisan

Dalam penulisan makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan penulis dan mahasiswa pada umumnya mengenai Aspek Pidana Dalam Perundang-undangan yang terdapat didalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan khususnya menyumbangkan bekal pengetahuan mengenai pelaksanaan dan pengaturannya yang didalamnya terdapat subjek yang bersifat khusus .
1.5    Metode Penulisan

    Metode Penulisan yang digunakan dalam makalah ini adalah Tinjau Pustaka dan Normatif, sehingga isi makalah dapat dimengerti dan dipahami oleh mahasiswa.


















BAB II
PEMBAHASAN

          Analisis
a.    Alasan dimuat nya ketentuan Pidana dalam UU no. 23 tahun 2003 tentang pemilihan umum
    Pada dasarnya UU No. 23 Tahun 2003 merupakan peraturan perundang-undangan non pidana tetapi terdapat pengaturan mengenai ketentuan pidana di dalamnya. Alasan adanya pengaturan ketentuan pidana di dalamnya karena pada dasarnya masyarakat Indonesia akan taat hukum apabila memiliki sanksi pidana di dalamnya. Ketentuan pidana pada dasarnya boleh saja dimuat dalam peraturan perundangan non pidana tetapi ini merupakan cara terakhir dalam memberikan sanksi ataupun hukuman terhadap pelaku pelanggaran dan kejahatan di bidang pemilihan umum. Sebelum mengambil cara penyelesaian masalah mengunakan ketentuan pidana haruslah terlebih dahulu menggunakan sanksi administrasi yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Dengan kata lain ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang sebaiknya menjadi jalan atau langkah akhir dalam menyelesaikan masalah mengenai pemilihan umum.
b.    Pembatasan Pidana
    Dalam UU No. 23 Tahun 2003 terdapat batasan sanksi pidana di dalamnya yaitu batasan minimum dan maksimum. Terdapat pada pasal 89 : 1,3 ; Pasal 88:1.
c.    Jenis Sanksi Pidana
    Jenis sanksi yang digunakan dalam UU no. 23 Tahun 2003 yaitu:
Double track yaitu sistem memutuskan penjatuhan sanksi pidana menggunakan lebih dari satu sanksi pidana yang berupa sanksi pidana dan administratif.

d.    Penyebutan Subjek
Pengertian subyek hukum (rechts subyek) menurut Algra dalah setiap orang mempunyai hak dan kewajiban, yang menimbulkan wewenang hukum (rechtsbevoegheid), sedengkan pengertian wewenang hukum itu sendiri adalah kewenangan untuk menjadi subyek dari hak-hak.
Dalam UU No. 23 Tahun 2003 Penyebutan subjek ada yang bersifat umum yaitu ketentuan pidana yang diundangkan di kenakan kepada masyarakat umum ataupun kepada siapa saja, hal ini dikarenakan terdapat kata “Setiap Orang ( Pada Pasal 88 :1-6, 89 : 1-3, 89 : 5-8, 90 : 1-8, 91:1-4). Pada umumnya kebanyakan penyebutan subjek yang digunakan adalah bersifat umum tetapi terdapat pula penyebutan subjek yang bersifat khusus yaitu terdapat dalam pasal 89 : (4) “Setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa atau  sebutan  lain  yang  dengan  sengaja  melanggar  ketentuan  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal  40  diancam  dengan  pidana  penjara  paling  singkat  1  (satu)  bulan  atau  paling  lama  6  (enam)  bulan  dan/atau   denda   paling   sedikit   Rp600.000,00   (enam   ratus   ribu   rupiah)   atau   paling   banyak  Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah)”. Olehkarena adanya Penyebutan setiap pejabat negara, pejabat struktural dan fungsional mengartikan telah ada subjek tertentu yang diatur dalam ketentuan pidana UU No. 23 Tahun 2003. 

e.    Delik Pidananya
    Dalam UU No. 23 Tahun 2003 perbuatan pidana kebanyakan didasarkan oleh “kesengajaan”. Itu dapat kita lihat adanya kata “dengan sengaja” dalam setiap pasalnya yang tercantum. Tetapi terkhusus untuk Pasal 92 : “Jika  tindak  pidana  dilakukan  dengan  sengaja  oleh  penyelenggara  atau  Pasangan  Calon,  ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang tersebut dalam pasal yang bersangkutan”. Dalam pasal ini disebutkan bahwa adanya pengecualian terhadap orang yang terkait langsung dalam pemilihan umum seperti penyelenggara atau Pasangan Calon, karena menurut kelompok kami mereka diaanggap telah mengetahui tentang peraturan dalam pemilu. Jadi penjatuhan sanksi yang diberikan ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan oleh karena dianggap dapat menguntungkan dan merugikan pihak tertentu.
    Selain delik kesengajaan dalam UU No. 23 Tahun 2003 terdapat pula pengaturan tentang delik kelalaian, yaitu pada pasal 93 ayat 3 “Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara  yang sudah disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau paling  lama  2  (dua)  bulan  dan/atau  denda  paling  sedikit  Rp100.000,00  (seratus  ribu  rupiah)  atau  paling  banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”. Dalam pasal ini terdapat delik kelalaian yang tetap dikenakan sanksi pidana terhadap kelalaian yang menyebabkan kerusakan dan kehilangan hasil pemungutan suara.
f.    Mekanisme Pemidanaan
    Dalam hal mekanisme pemidanaan yang dilakukan kepada pelanggar ketentuan dalam UU No. 23 Tahun 2003 dipersamakan dengan menggunakan mekanisme pemidanaan yang ditentukan oleh KUHP. Terdapat dalam pasal 41 : 3. Tetapi berdasarkan ketentuan bahwa terlebih dahulu dilakukan penjatuhan sanksi administratif kepada pelaku pelanggar UU No. 23 Tahun 2003 ini dan yang menentukan dan melakukan mekanisme sanksi administratif adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU).

g.    Jenis Tindak Pidana
Dalam KUHP tindak Pidana terbagi atas 2 kelompok yaitu :
1.    Pelanggaran
2.    Kejahatan
Menurut kelompok kami dalam UU No. 23 Tahun 2003 terdapat 2 jenis pengelompokan tindak pidana yaitu
•    terdapat tindak pidana pelanggaran, terdapat dalam (pasal 88 : 2, Pasal 89 :1-4, Pasal 90 : 4,7,dan 8, Pasal 91 : 1)
•    terdapat pula tindak yang dikelompokkan sebagai tindak pidana Kejahatan, terdapat dalam (pasal 88 : 1,3-6 ; pasal 89 : 5,6,8 ; Pasal 90 : 1,2,3,5,6 ; Pasal 91 : 2,4)

h.    Sanksi Administratif
    Seperti yang telah dijelaskan diatas bahwa pada dasarnya ketentuan sanksi pidana ini merupakan alat terakhir dalam melakukan pengaturan penjatuhan sanksi pada orang yang melanggar, karena apabila tindakan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan cara pemberian sanksi administratif.
Sanksi administatif dapat berupa
1.    Pasal 41 ayat 2 : sanksi yang diberikan pada penyelenggara kampanye yang melanggar  ketentuan pidana dalam perundang-undangan.
a. diberikan peringatan tertulis
b. Penghentian kegiatam Kampanye.
2.    Pasal 42 ayat 2 : Sanksi yang diberikan kepada pasangan calon yang melanggar ketentuan tindak pidana dalam UU No. 23 Tahun 2003. Sanksi nya ialah sanksi pembatalan sebagai pasangan calon.










BAB III
PENUTUP
3.1     KESIMPULAN
    Menurut Kelompok kami Ketentuan Pidana dalam peraturan perundang-undangan non pidana khususnya UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan Umum adalah sah-sah saja, karena pada dasarnya kebiasaan adat yang digunakan bangsa Indonesia dapat mengikuti hukum jika adanya sanksi yang diberikan dalam pelanggarannya serta untuk menjamin kepastian hukum terhadap asas legalitas.
    Terkhususnya pada UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum telah kami analisis beberapa ketentuan yang digunakan seperti:
-    Penyebutan subjek secara Umum dan ada juga secara khusus
-    Sistem pemidanaannya menggunakan single dan double track.
-    Mengenal batas minimum
-    Mekanisme pemidanaan berdasarkan KUHP
-    Adanya tindak pidana pelanggaran dan kejahatan
-    Adanya delik kesenggajaan dan kelalaian
-    Mengatur terlebih dahulu tentang sanksi administratif

3.2.     SARAN

Kelompok kami menyarankan bahwa penegak hukum dalam pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum yang termasuk juga KPU sebagai penyelenggaraannya haruslah memahami penggunaan ketentuan pidana yang diatur. Ketentuan pidana hendaklah menjadi langkah akhir dalam penyelesaian masalah pelanggaran tentang pemilihan Umum, karena pada saat ini perkembangan kemampuan dan politik kepentingan membuat para penguasa dan penyelenggara pemilihan umum membuat ketentuan pidana menjadi senjata awal dalam pemberantasan pelanggaran – pelanggaran dan kejahatan- kejahatan yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum.
DAFTAR PUSTAKA


-    Muladi, dan Nawawi, Barda Arif, Teori-Teori Kebijakan Pidana, Alumni, 1992.
-    Sunaryo, Sidik, Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, 2004
-    Hamzah, Andi, Hukum Acara Pidana Indonesia, Sinar Grafika, 2008.
-    Hamzah, Andi, Perkembangan Hukum Pidana Khusus, Rineka Cipta, 1991
-    Soekanto, soerjono, Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum, Rajawali, Jakarta, 1982
-    Otje Salman, R, Beberapa Aspek Sosiologi Hukum, Alumni Bandung, 1989.
-    Undang-Undang No. 31 Tahun 2003 Tentang Pemilihan Umum.

Senin, 14 November 2011

Delik khusus luar KUHP



HUKUM TINDAK PIDANA KHUSUS

A.    Pengertian


Pertama kali dikenal istilah Hukum Pidana Khusus, sekarang diganti dengan istilah Hukum Tindak Pidana Khusus. Timbul pertanyaan apakah ada perbedaan dari kedua istilah ini. Seacara prinsipil tidak ada perbedaan antara kedua istilah ini. Oleh karena yang dimaksud dengan kedua istilah itu adalah  UU Pidana[1] yang berada di luar Hukum Pidana Umum yang mempunyai penyimpangan dari Hukum Pidana Umum baik dari segi Hukum Pidana Materil maupun dari segi Hukum Pidana Formal. Kalau tidak ada penyimpangan tidaklah disebut hukum Pidana Khusus atau Hukum Tindak Pidana Khusus.
            Hukum tindak pidana khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku  terhadap orang tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu.
Oleh karena itu hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan  berlaku  kepada siapa Hukum Tindak Pidana Khusus itu.  Hukum Tindak pidana khusus ini diatur dalam UU di luar Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU pidana merupakan indikator apakah UU pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU pidana tersendiri. Pernyataan ini sesuai dengan pendapat Pompe yang  mengatakan :
“ Hukum Pidana Khusus mempunyai tujuan dan fungsi tersendiri”
UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai penya-lahgunaan kewenangan. Tindak pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.      


B. Dasar hukum dan kekhususan.
UU Pidana yang masih dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus adalah UU No 7 Drt 1955 (Hukum Pidana Ekonomi), UU No 31 tahun 1999 jo UU No 20 tahn 2002 dan UU No 1 /Perpu/2002 dan UU No 2/Perpu/2002.
Hk. Tp. Khusus Mengatur Perbuatan tertentu ; Untuk orang/golongan tertentu
Hk Tindak Pidana Khusus Menyimpang  dari Hukum Pidana Matriil dan Hukum Pidana Formal. Penyimpangan diperlukan atas dasar kepentingan hukum.
Dasar Hukum UU Pidana Khusus mdilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
  1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
  2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena  KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).












  Perundang-undangan Pidana :


  1. UU pidana dalam arti sesungguhnya, yaitu hak memberi pidana dari negara;
  2. Peraturan Hukum Pidana dalam arti tersendiri, adalah memberi sanksi pidana  terhadap aturan yang berada di luar hukum pidana umum


Apabila diperhatikan suatu undang-undang dari segi hukum pidana ada  5 substansi.
    1. UU saja yang tidak mengatur ketentuan pidana (seperti UU No 1 Tahun 1974, UU No 7/1989 yang diubah dengan UU No 3/2006, UU No 8/1974 yang diubah dengan UU No 43/1999, UU No 22/1999 yang diubah denghan UU No 32/2004 , UU No 4 / 2004, UU No 23/1999 yang diubah dengan UU No 3/2004).
    2. UU yang memuat ketentuan pidana, makksudnya mengancam dengan sanksi pidana bagi pelanggaran terhadap pasal-pasal tertentu yang disebut dalam Bab ketentuan pidana. (seperti UU No 2/2004, UU No /1999, UU No 8/1999, UU No 7/1996, UU No 18/1997 yang diubah dengan UU No 34/2000, UU No 23/2004, UU No 23/20020, UU Nov 26/2000).
    3.  UU Pidana, maksudnya undang-undang yang merumuskan tindak pidana dan langsung mengancam dengan sanksi pidana dengan tidak mengatur bab tersendiri yang memuat ketentuan pidana. (seperti UU No 31/1999, UU No 20/2002, UU No 1/Perpu/2000, UU No 15/2002 yang diubah dengan UU No 25/2003)
    4. UU Hukum Pidana adalah undang-undang yang mengatur ketentuan hukum pidana. Undang-undang ini terdiri dari undang-undang pidana materil dan formal (undang-undang acara pidana). Kedua undang-undang hukum pidana ini dikenal dengan sebutan “Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana” (seperti KUHP, UU No 8/ 1981 tentang KUHAP, KUHP Militer)
Hukum Pidana Khusus ada yang berhubungan dengan  Hukum administrasi
( HPE, Hk. Pidana Fiscal, UU No 31 th 1999 khusus masalah penyalahgunaan kewenangan).
Dasar Hukum UU Pidana Khusus dilihat dari hukum pidana adalah Pasal 103 KUHP. Pasal 103 ini mengandung pengertian :
  1. Semua ketentuan yang ada dalam Buku I KUHP berlaku terhadap UU di luar KUHP sepenjang UU itu tidak menentukan lain.
  2. Adanya kemungkinan UU termasuk UU Pidana di luar KUHP, karena  KUHP tidak mengatur seluruh tindak pidana di dalamnya (tidak lengkap dan tidak mungkin lengkap).

C. Kekhususan T.P. Khusus.

Hukum Tindak Pidana khusus mempunyai ketentuan khusus dan penyimpangan terhadap hukum pidana  umum, baik dibidang Hukum Pidana Materiil maupun dibidang Hukum Pidana formal.
Hukum Tindak Pidana Khusus berlaku terhadap perbuatan tertentu dan atau untuk golongan / orang-orang tertentu.



1.      Kekhususan Hukum Tindak Pidana Khusus dibidang Hk. Pidana Materil.        
(Penyimpangan dalam pengertian menyimpang dari ketentuan HPU dan dpt berupa menentukan sendiri yg sebelumnya tidak ada dalam HPU disebut dengan ketntuan khusus (ket.khs)

1.1.  Hukum Pidana bersifat elastis (ket.khs)
1.2.  Percobaan dan membantu   melakukan tindak pidana diancam dengan hukuman. (menyimpang)
1.3.  Pengaturan tersendidiri tindak pidana kejahatan dan pelanggaran  (ket. khs)
1.4.  Perluasan berlakunya asas teritorial (ekstera teritorial). (menyimpang/ket.khs)
1.5.  Sub. Hukum berhubungan/ditentukan berdasarkan kerugian keuangan dan   perekonomian negara. (ket.khs)
1.6.   Pegawai negeri merupakan sub. Hukum tersendiri.(ket. khs).
1.7.  Mempunyai sifat terbuka, maksudnya adanya ketentuan untuk memasukkan tindak pidana yang berada dalam UU lain asalkan UU lain  itu menetukan menjadi tindak pidana. (ket.khus).
1.8.  Pidana denda + 1/3 terhadap korporasi. (menyimpang)
1.9.  Perampasan barang bergerak , tidak bergerak (ket. khs)
1.10.  Adanya pengaturan tindak pidana selain yang diatur dalam UU    itu.(ket.khs)
1.11.  Tindak pidana bersifat transnasional. (ket.khs)
1.12.  Adanya ketentuan  yurisdiksi dari negara lain terhadap tindak pidana yang terjadi. (ket.khs)
1.13.  Tindak pidananya dapat bersifat politik (  ket.khs).
1.14.  Dapat pula berlaku asas retro active 

2. Penyimpangan terhadap Hukum Pidana Formal.

1.      Penyidikan dapat dilakukan oleh Jaksa[2], Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[3]
2.      Perkara pidana khusus harus didahulukan dari perkara pidana lain;
3.      Adanya gugatan perdata terhadap tersangka/terdakwa TP Korupsi.
4.      Penuntutan Kembali terhadap pidana bebas atas dasar kerugian negara;
5.      Perkara pidana Khusus di adili di Pengadilan khusus (HPE);
6.      Dianutnya Peradilan In absentia;
7.       Diakuinya terobosan terhadap rahasia bank;
8.      Dianut Pembuktian terbalik;
9.      Larangan menyebutkan identitas pelapor;
10.  Perlunya pegawai penghubung;
11.  Dianut TTS dan TT

D. Ruang Lingkup Tindak Pidana Khusus
Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh  : UU No 9 tahun 1976 tentang Tindak Pidana Narkotika  merupakan tindak pidana khusus. Setelah UU No 9 tahun 1976 dicabut dengan UU No 22 tahun 1997 tidak terdapat penyimpangan maka tidak lagi menjadi bagian tindak pidana khusus. Demikian juga UU No 32 tahun 1964 tentang Lalu Lintas Devisa  telah dicabut dengan UU No 24 tahun 1999 tentang Lalu Linyas Devisa dan Sistem Nilai Tukar Uang. Sehingga  UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak lagi merupakan tindak pidana khusus.
            Ruang lingkup tindak hukum tindak pidana khusus :
1.      Hukum Pidana Ekonomi (UU No 7 Drt 1955)
2.      Tindak pidana Korupsi
3.      Tindak Pidana Terorisme.
Tindak pidana ekonomi merupakan tindak pidana khusus yang lebih khusus dari kedua tindak pidana  khusus lainnya. Tindak pidana ekonomi ini dikatakan lebih khusus karena aparat penegak hukum dan pengadilannya adalah khusus untuk tindak pidana ekonomi. Misalnya Jaksanya harus jaksa ekonomi, Paniteranya harus panitera ekonomi dan hakim harus hakim ekonomi demikian juga pengadilannya harus pengadilan ekonomi.

ad 1. Hukum Pidana Ekonomi
I.      Pengertian, dan dasar Hukum
UU No 7 Drt 1955 tidak memberikan atau merumuskan  dalam bentuk defe-nisi mengenai hukum pidana ekonomi. Melalui ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 pada intinya yang disebut tindak pidana ekonomi  ialah pelanggaran sesuatu keten-tuan dalam atau berdasarkan Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e.. Jadi setiap terjadi pelanggaran terhadap ketentuan Ps 1 UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana ekonomi.
      Hukum pidana ekonomi diatur dalam UU No 7 Drt 1955[4] tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi. Tujuan dibentuknya UU No 7 Drt 1955 adalah untuk mengadakan kesatuan dalam peraturan perundang-undangan  ten-tang pengusutan, penuntutan dan peradilan mengenai tindak pidana ekonomi. UU ini merupakan dasar hukum dari Hukum Pidana Ekonomi. Disebut dengan hukum pida-na ekonomi oleh karena UU No 7 Drt 1955 mengatur secara tersendiri perumusan Hukum Pidana formal disamping adanya ketentuan hukum pidana formal dalam Hukum pidana umum (hukum acara pidana). Selain itu juga terdapat penyimpangan terhadap ketentuan hukum pidana materil (KUHP).

II.    Kekhususan Hukum Pidana Ekonomi

Hukum Pidana Ekonomi mempunyai kekhususan tersendiri dibandingkan dengan pidana khusus yang lain..Menurut Andi Hamzah[5] kekhususan yang dimaksud adalah:
a. Peraturan hukum pidana ekonomi bersifat elastis mudah berubah-   ubah;
b.      Perluasan subjek hukum pidana (pemidanaan badan hukum);
c.       Peradilan in absentia;  Peradilan in absentia  berlaku terhadap orang yang sudah meninggal dunia dan terhadap orang yang tidak duikenal. Untuk mengetahui siapa orang yang tidak dikenal ini pelajari UU No 7 Drt 1955 dan UU No 15 Prp tahun 1962.
d.      Percobaan dan membantu melakukan pada delik ekonomi;
e.       Pembedaan delik ekonomi berupa kejahatan dan pelanggaran;
f.       Perluasan berlakunya hukum pidana
g.      Penyelesaian di luar acara (schikking).[6]
h.      Perkara TPE diperiksa dan diadili di Pengadilan Ekonomi. Berarti pengadilannya khusus Pengadilan Ekonomi. Perlu diketahui bahwa sampai sekarang (tahin 2007) belum ada Pengadilan ekonomi secara fisik akan tetapi fungsinya tetap ada sesuai dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) UU No 7 Drt 1955, bahwa pada tiap-tiap Pengadilan Negeri ditempatkan seorang Hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang Jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk mengadili perkara tindak pidana ekonomi.  Menurut Ps 35 ayat (2) Pengadilan tersebut adalah Pengadilan Ekonomi.
i.        Hakim, Jaksa dan Panitera adalah hakim, jaksa, dan Panitera yang diberi tugas khusus untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak  pidana ekonomi, berarti bukan hakim, jaksa dan Panitera umum.
j.         Hakim, jaksa pada pengadilan ekonomi dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi.
k.        Pengadilkan ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan Pengadilan Ekonomi


III.             Perumusan Tindak Pidana Ekonomi 

Hukum Pidana Ekonomi merumuskan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955 adalah tindak pidana sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e Pasal 1 sub 1e[7] sudah mengalami beberapa kali perubahan. Tindak pidana pasal 1 sub 2e adalah tindak pidana dalam Pasal 26, 32 dan 33 UU No 7 Drt 1955.  Sedangkan tindak pidana Pasal 1 sub 3e adalah   pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang itu menyebutkan pelanggaran itu sebagai pelanggaran tindak pidana ekonomi.   Tindak pidana ekonomi dalam UU No 7 Drt 1955 ini lebih bersifat  hukum administrasi. Secara teliti pelanggaran terhadap UU No 7 Drtr 1955 disebut sebagai tindak pidana ekonomi oleh karena berupa kejahatan yang meru-gikan keuangan dan perekonomian negara. Berdasarkan  ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e UU No 7 Drt 1955 tindak pidana ekonomi ini terdapat dua kelompok. Pertama tindak pidana yang berasal dari luar UU No 7 Drt 1955, yaitu undang-undang atau staatblad sebagaimana disebutkan dalam Ps 1 sub 1e dan Ps 1 sub 3e. Kedua tindak pidana yang dirumuskan sendiri yaitu Ps 26, Ps 32 dan Ps 33 sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1 sub 2e.

Tindak pidana berdasarkan Ps 26.
            Tindak pidana Ps 26 merupakan pelanggaran karena tidak mengindahkan tuntutan pegawai pengusut[8] (selanjutnya disebut penyidik). Ps 26 merumuskan dengan segaja tidak memenuhi tuntutan pegawai pengusut, berdasarkan suatu aturan dari undang-undang ini.
            Bagi penyidik untuk dapat diberlakukan ketentuan Ps 26 harus diketahui dulu bahwa yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi bukan tindak pidana lain. Sebab apabila yang disidik itu bukan tindak pidana ekonomi  bagi yang tidak mengindahkan tuntutan penyidik dikenakan ketentuan Ps 216 KUHP. Jadi apabila yang disidik itu adalah tindak pidana ekonomi maka orang yang tidak memenuhi tuntutan penyidik diberlakukan Ps 26. Tuntutan sebagai mana dimaksud dalam Ps 26 adalah :
a.Tuntutan menyerahkan untuk disita semua barang yang dapat digunakan untuk mendapatkan keterangan  atau yang dapat dirampas atau dimusnahkan (Ps 18 ayat (1).
b.Tuntutan untuk diperlihatkan segala surat yang dipandang perlu nuntuk dke-tahui penyidik agar penyidik ini dapat melakukan tugas dengan sebaik baik -nya. (Ps 19 ayat (1)
c.       Tuntutan untuk membuka bungkusan barang-barang-jika hal itu dipandang perlu  oleh penyidik untuk memeriksa barang-barang itu (Ps 22 ayat (1).

Tindak Pidana berdasarkan  Pasal 32
Tindak pidana ekonomi yang diatur dalam Ps 32 ini adalah tindak pidana yang berhubungan dengan berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan :
a.    pidana tambahan seperti termuat dalam Pasal 7 ayat (1) a,b, atau c;
d.      tindakan tatatertib seprti dalam Pasal 8;
e.        suatu peraturan seperti terdapat dalam Pasal 10;
f.        tindakan tatatertib sementara. Seperti pada Pasal 27 dan 28
g.      atau menghindari ketentuan a,b,c atau d tersebut di atas.
Rumusan lengkap Ps 32 sbb:
Barang siapa sengaja berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan hukuman tambahan sebagai tercantum dalam Ps 7 ayat (1) a, b atau c, dengan suatu tindakan tatatertib seperti tercantum dalam Ps 8, dengan suatu peraturan seperti termaksud dalam Ps 10 atau dengan suatu tindakan tatatertib sementara atau menghindari hukuman tambahan, tindakan tatatertib, peratur-an, tindakan tatatertib sementara seperti tersebut di atas.
Menurut pembuat UU yang dimuat dalam penjelasan Ps 32 ini agar dengan mudah dapat dipaksakan kepada tang bersalah untuk memenuhi pidana tambahan dan sebagi- nya, sebab pengusaha yang memnbandel banyak mempunyai alat untuk menghindari diri dari dibebankannya pelbagai pidana tambahan.

Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Pasal 33

Tindak Pidana Ekonomi dalam Pasal 33 ini mirip dengan ketentuian Pasal 32 di atas. Perbedaannya terdapat pada unsur menarik bagian – bagian kekayaan untuk dihindar-kan dari beberapa tagihan atau pelaksanaan hukuman, tindakan tatatertib, atau tindak-an tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan UU No 7Drt 1955.
Rumusan secara lengkap sbb:
Barang siapa dengan sengaja, baik sendiri maupun dengan perataraan orang lain , menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan-tagihan atau pelaksanaan suatu hukuman, tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara, yang dijatuhkan berdasarkan undang-undang ini.
            Ps 33 ini dimaksudkan untuk dapat mengatasi  jika orang yang dengan sengaja baik sendiri maupun perantaraan orang lain:
  1. menarik bagian kekayaan untuk dihindarkan dari tagihan atau pelaksanaan suatu pidana atau
  2.  tindakan tatatertib atau tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan kepada-nya berdasarkan UU No 7 drt 1955, karena sering orang mengghindari dari hukuman kekayaan itu.
Berarti untuk dapat dukenakan Pasal 33 hanya terbatas terhacdap :
    1. tagihan-tagihan;
    2. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib;
    3. pelaksanaan suatu tindakan tatatertib sementara, yang kesemuanya a,.b,c harus berdasarkan UU No 7 Drt 1955.
Menurut Karni apa yang dimaksudkan dengan menarik bagian tagihan-tagihan dalam Ps 33 adalah mungkin sama dengan mencabut barang dari harta bendanya dalam
Ps 399 KUHP.  Ps 399 KUHP merupakan kejahatan  yang dilakukan oleh pengurus atau pembantu suatu korporasi yang dinyatakan jatuh pailit yang diperintahkan hakim untuk menyelesaikan urusan perniagaannya, akan tetapi ia mengurangi dengan jalan penipuan terhadap hak penagih. Kegiatan yang dilakukannya :
  1. ... menyembunyikan keuntungan atau melarikan suatu barfang dari harta bendanya;
  2. memindahkan sesuatu barang baik dengan menerima uang .....
  3. menguntungkan salah seorang yang berpiutang padanya dengan jalan apapun juga pada waktu jatuh pailit atau penyelesaian urusan dagang,...
  4. tidak mencukupi kewajibannya dalam mencatat segala sesuatu...

Tindak Pidana Ekonomi berdasarkan Ps 1 sub 3e

Pelaksanaan suatu ketentuan dalam atau berdasar undang-undang lain, sekedar undang-undang oirtu menyebut pelanggaran itu sebagai tindak pidana ekonomi.
            Tindak pidana yang dimaksud dalam pasal ini hingga tahun 1965 ada tiga undang-undang yang menyatakan pelanggaran terhadap undang-undang itu sebagai tindak pidana ekonomi.
  1. UU No 8 Prp tahun 1962  LN No 42 tahun 1962 tentang Perdagangan barang-barang dalam pengawasan.
  2. UU No 9 Prp tahun 1962  LN No 43 tahun 1962 tentang Pengendalian harga;
  3. UU No 11 tahun 1965 LN No 54 tahun 1965 tentang Pergudangan.

 

IV. Peradilan Tindak Pidana Ekonomi

            Peradilan tindak pidana ekonomi yang diatur dalam UU No 7 Drt 1955  terdapat perbedaan dengan peradilan tindak pidana lainnya baik peradilan tindak pidana khusus maupun pada tindak pidana umum.  Tingkat pertama Peradilan tindak pidana ekonomi  diatur dalam Ps 35, Ps 36, Ps 37, Ps 38 Ps 39. Pada tingkat Banding diatiur dalam Ps 41, Ps 42, Ps 43, Ps 44, Ps 45 dan Ps 46.. Pada tingkat kasasi diatur dalam Ps 47, Ps 48.
Pada tingkat pertama, Ps 35 ayat (1) disebutkan bahwa pada tiap-tiap pengadilan negeri ditempatkan seorang hakim atau lebih dibantu oleh seorang panitera atau lebih dan seorang jaksa atau lebih yang semata-mata diberi tugas untuk memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi. Ps 35 ayat (2) dikatakan bahwa pengadilan pada tingkat pertama tindak pidana ekonimi adalah pengadilan ekonomi. Berdasarkan kedua ketentuan ini berarti bahwa dengan adanya semata-mata maka hakim, paniteradan jaksa  adalahb tugas khusus atau pengkhususan dari peradilan umum. Pengadilannya khusus hanya pengadilan ekonomi saja yang dapat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi bukan pengadilan negeri. Hanya lokasinya saja ada di pengadilan negeri. Ps 35 ayat (1) memberikan arti pengadilan ekonomi ada di pengadilan negeri. Pengadilan ekonomi itu timbul ketika pada saat memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi. Fisiknya tidak nampak akan tetapi fungsinya ada.

Menurut Ps 36 seorang Hakim atau  Jaksa pada pengadilan ekonomi itu dapat dipekerjakan lebih dari satu pengadilan ekonomi. Perlu diketahui ketentuan ini dike-hendaki pada tahun 1955 untuk mempercepat dan memberantas tindak pidana ekono-mi, ketika itu hakim di Indonesia tidak sebanding dengan tindak pidana yang ada.[9]. Oleh karena pada Ps 36 itu tidak disebut panitera berarti panitera tidak dapat dipeker-jakan lebih dari satu pengadilan ekonomi.

Untuk mengatasi kesulitan terhadap percepatan, penyelesiaan tindak pidana ekonomi maka dalam Ps 37 diatur bahwa Pengadilan Ekonomi dapat bersidang di luar tempat kedudukan pengadilan ekonomi. Berarti dapat bersidang diluar wilayah hukum pengadilan negeri apabila pada pengadilan negeri dalam lingkungan peng-adilan tinggi itu tidak terdapat hakim atau jaksa yang khusus diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana ekonomi.

 

Pada tingkat banding disebutkan Pada Ps 41 ayat (1) bahwa pada tiap-tiap pengadilan tinggi untuk wilayah hukumnya masing-masing diadakan pengadilan tinggi ekonomi yang diberi tugas memeriksa dan mengadili perkara pidana ekonomi pada tingkat banding. Ketentuan ini mempunyai jiwa yang sama dengan Ps 35 ayat (1).

 

V. Badan-Badan Pegawai Penghubung.

            Sifat dari tindak pidana ekonomi mengancam dan merugikan kepentingan yang sangat gecompliceerd, sehingga orang biasa dan kadang-kadang Hakim dan Jaksa sering tidak mempunyai gambaran yang sebenarnya menyebabkan  timbul per-bedaan pendatpat antara jaksa dan hakim. Untuk mengatasi masalah yang berhubung-an dengan penyidikan, penuntutan dan peradilan  terhadap perkara tindak pidana ekonomi, diperlukan badan-badan pegawai penghubung.  Badan ini diangkat oleh menteri yang bersangkutan (terkait) berdasarkan  persetujuan Menteri Kehakiman.

Badan ini diwajibkan memberikan bantuan kepada penyidik, Jaksa, dan Hakim baik di luar maupun di dalam Pengadilan. Menteri yang bersangkutan maksudnya adalah menteri yang ada hubungannya dengan materi perkara tindak pidana ekonomi itu apakah yang diperlukan bantuan terhadap badan pegawai penghubung. Jika yang diperlukan itu mengenai lalu lintas devisa, berarti yang dimintakan itu dari Bank Indonesia, maka menteri yang bersangkutan adalah Menteri Keuangan. Pegawai Bank Indonesia dapat diangkat menjadi pegawai penghubung oleh Menteri Keuangan atas dasar persetujuan Menteri Kehakiman. Orang yang dapat diangkat adalah orang yang ahli dibidang perekonomian. Oleh karena sifatnya memberi bantuan saja bantuan ini tidak mengikat terhadap penyelesaian perkara tindak pidana perekonomia. Badan pegawai penghubung ini bukanlah sebagai saksi ahli sebagaimana dalam Ps 120 jo Ps 180 KUHAP.

 

VI.Tindakan Tatatertib Sementara


            Tindakan tatatertib sementara diatur dalam Ps 27 dan Ps 28 UU No 7 Drt 1955. Instansi yang berwenag mengambil tindakan tetatertib sementara ini adalah Jaksa sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1), dan Hakim sebagaimana diatur dalam Ps 28 ayat (1) UU No 7 Drt 1955. Selain kedua instansi ini tidak berwenang mengam- bil tindakan tatatertib sementara. Ketentuan Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1) telah diubah oleh UU No 26/Prp/1960. Secara akademik untuk dapat mengambil tindakan tatatertib sementara harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Ps 27 ayat (1) dan Ps 28 ayat (1)
Ketentuan Ps 27 ayat (1) sama dengan ketentuan Ps 28 ayat (1). . Apabila dikaji ketentuan kedua pasal itu terdapat 4 (empat) macam substansi, yaitu, syarat, waktu,  tujuan dan tindakan yang harus dilakukan  pengambilan tindakan tatatertib sementara.
Syarat pengambilan Tatatertib sementa adalah:
  1. ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan tersangka;
  2. ada keperluan untuk mengadakan tindakan-tindakan dengan segera terhadap kepentingan-kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan-ketentuan yang disangka telah dilanggar oleh tersangka

Waktu pengambilan  tindakan tetatertib sementara

  1. Bagi jaksa selama pemeriksaan dimuka pengadilan belum dimulai (Ps 27 ayat (1)
  2. Bagi hakim sebelum pemeriksaan di muka pengadilan .(Ps 28 ayat (1)
Tujuan pengambilan  tindakan tetatertib sementara
  1. supaya tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu
  2. supaya  tersangka berusaha agar barang-barang yang disebut dalam perintah untuk diadakan tindakan tatatertib sementara yang dapat disita, dikumpulkan dan disimpan ditempat yang ditunjuk dalam perintah tersebut.
Tindakan  Melaksanakan  Tindakan Tetatertib Sementara
  1. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan dimana pelaggaran hukum disangka telah dilakukan;
  2. penempatan perusahaan tersangka dimana tindak mpidana ekonomni itu disangka telah dilakukan,  dibawah pengampuan
  3. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu, atau pencabutan seluruh atau sebagian keuntungan, yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada tersangka berhubung dengan perusahaan itu.
Pelaksanaan Pengambilan Tindakan Tatateretib Sementara
            Apabila hakim telah menerima berkas perkara pidana eko-nomi harus diperha-tikan apakah Jaksa sudah atau belum meng-ambil tindakan tatatertib sementara  sesuai dengan ketentuan syarat, waktu dan tujuan. Jaksa setelah menganbil tindakan tata-tertib sementara berdasarkan Ps 27 ayat (2) dapat mengeluarkan perintah-perin-tah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Apabila Jaksa sudah melaknakan, maka hakim berdasarkan ketentuan Ps 28 ayat (3) dapat mengambil keputusan :
a. memperpanjang tindakan tatatertib sementara satu kali selama lamanya 6 (enam)
    bulan atas dasar hakim karena jabatannya, atau tuntutan jaksa.
b. mencabut atau merubah tindakan tatatertib sementara yang diambil Jaksa atas da  -sar hakim karena jabatannya, atau tuntutan Jaksa, atau permohonan terdakwa.
Tindakan tataertib sementara berdasarkan ketentuan Ps 27 ayat (3) dapat diubah atau dicabut oleh Jaksa atau Hakim asal perkara tindak pidana ekonomi itu belum diputus oleh Hakim.
Jika Jaksa belum mengambil tindakan tatatertib sementara, maka Hakim berdasarkan Ps 28 ayat (1) dapat mengambil tindakan tatatertib sementara.  Setelah Hakim meng-ambil tindakan tatatertib sementara, hakim dapat mengeluarkan perintah-perintah sebagaimana diatur dalam Ps 10 ayat (1). Tindakan tatatertib semntara yang diambil oleh hakim  dapat diperpanjang dengan satu kali selama-lamanya 6 bulan, atau diubah atau dicabut :
a.       oleh hakim karena jabatannya
b.      atas tuntutan jaksa
c.       atas permohonan terdakwa.
Mengingat tindakan tatatertib sementara kemungkinan dapat menim,bulkan kerugian yang besar,  maka berdasarkan Ps 31 mengatur ketentuan mengganti keru-gian jika tindak pidana ekonomi itu berakhir dengan:
a.       tidak dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tatatertib.
b.      dijatuhkan pidana pokok atau tindakan tetatertib sehingga tindakan tatatertib sementara yang dijatuhkan dipandang terlalu berat.
Uang pengganti kerugian itu  dibebankan kepada kas negara. Lembaga yang berhak menghambil keputusan adalah pengadilan yang telah mengadili perkara tindak pidana ekonomi itu dalam tingkat penghabisan.

VII. Sanksi


            Sanksi terhadap Pelanggaran Hukum Pidana Ekonomi menganut sistem sanksi pidana dan tindakan tatatertib . Sistem ini dikenal dengan istilah “Double Track System”. Sanksi Pidana berupa sanksi pidana pokok dan pidana tambahan. Sanksi pi-dana ini sesuai dengan ketentuan Ps 10 KUHP. Sedangkan tindakan tatatertib seba-gaimana diatur dalam Ps 8 UU No 7 Drt 1955.
            Tindakan tetatertib berupa penempatan perusahaan siterhukum berada diba-wah pengampuan, kewajiban membayar uang jaminan, kewajiban membayar sejumlah uang sebagai pencabutan keuntungan dan kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat satu sama lain, atas biaya siterhukum apabila  hakim tidak menentukan lain.[10].
            Sanksai pidana pokok sebelum ada perubahan diatur dalam Ps 6 ayat (1). yaitu sanksi pidana penjara dan denda. Sanksi pidana terhadap pelanggaran Ps 1 sub 1e, Ps 1 sub 2e dan Ps 1 sub 3e dianut sanksi pidana secara kumulatif atau alternatif, maksudnya dijatuhkan dua  sanksi pidana pokok sekaligus (pidana penjara dan denda)  atau salah satu diantara dua sanksi pidana pokok itu.
            Perkembangan selanjutnya, ancaman pidana dalam hukum pidana ekonomi mengalami perubahan dan pemberatan.
1.      UU No 8 Drt 1958 selain menambah tindak pidana ekonomi terhadap keten-tuan Ps 1 sub 1e, memperberat ancaman hukuman yang terdapat dalam Ps 6 ayat 1 huruf a yaitu kata-kata lima ratus ribu rupiah diubah menjadi satu juta rupiah.
2.      UU No 5/ PNPS/ 1959 memperberat ancaman sanksi pidana terhadap keten-tuan Hukum Pidana Ekonomi, tindak pidana korupsi[11], tindak pidana dalam buku ke II Bab I dan II KUHP,. dengan hukuman penjara sekurang-kurangnya satu tahun [12] dan setinggi-tingginya 20 tahun atau hukuman penjara seumur hidup atau hukuman mati. Untuk dapat dikenakan ketentuan ini apabila mengetahui, patut menduga bahwa tindak pidana itu akan menghalang-halangi terlaksana program pemerintah, yaitu :
a.       memperlengkapi sandang pangan rakyat dalam waktu yang sesingkat singkatnya;
b.      menyelenggarakan keamanan rakyat dan negara;
c.       melanjutkan perjuangan menentang imprealisme ekonomi politik (Irian Barat).
3.      UU No 21 /Peperpu/1959 memperberat ancaman hukuman pidana denda yang semulanya satu juta berdasarkan UU No 8/Drt/1958  dikalikan dengan 30, berarti dari satu juta menjadi 30 juta rupiah.. Jika tindak pidana itu dapat me-nimbulkan kekacauan dibidang perekonomian  dalam masyarakat, maka pelanggar dihukum dengan human mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya 20 tahun dan hukuman denda sebesar 30 kali jumlah yang ditetapkan pada ayat 1.Hakim harus menjatuhkan pidana secara kumulatif. 





TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA (TINJAUAN UU No. 31 TAHUN 1999 Jo UU No. 20 TAHUN 2001 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI)

oleh agust hutabarat
  1. A. PENDAHULUAN
Perkembangan peradaban dunia semakin sehari seakan-akan berlari menuju modernisasi. Perkembangan yang selalu membawa perubahan dalam setiap sendi kehidupan tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan jaman dan bertransformasi dalam bentuk-bentuk yang semakin canggih dan beranekaragam. Kejahatan dalam bidang teknologi dan ilmu pengetahuan senantiasa turut mengikutinya. Kejahatan masa kini memang tidak lagi selalu menggunakan cara-cara lama yang telah terjadi selama bertahun-tahun seiring dengan perjalanan usia bumi ini. Bisa kita lihat contohnya seperti, kejahatan dunia maya (cybercrime), tindak pidana pencucian uang (money laundering), tindak pidana korupsi dan tindak pidana lainnya.
Salah satu tindak pidana yang menjadi musuh seluruh bangsa di dunia ini. Sesungguhnya fenomena korupsi sudah ada di masyarakat sejak lama, tetapi baru menarik perhatian dunia sejak perang dunia kedua berakhir. Di Indonesia sendiri fenomena korupsi ini sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Salah satu bukti yang menunjukkan bahwa korupsi sudah ada dalam masyarakat Indonesia jaman penjajahan yaitu dengan adanya tradisi memberikan upeti oleh beberapa golongan masyarakat kepada penguasa setempat.
Kemudian setelah perang dunia kedua, muncul era baru, gejolak korupsi ini meningkat di Negara yang sedang berkembang, Negara yang baru memperoleh kemerdekaan. Masalah korupsi ini sangat berbahaya karena dapat menghancurkan jaringan sosial, yang secara tidak langsung memperlemah ketahanan nasional serta eksistensi suatu bangsa. Reimon Aron seorang sosiolog berpendapat bahwa korupsi dapat mengundang gejolak revolusi, alat yang ampuh untuk mengkreditkan suatu bangsa. Bukanlah tidak mungkin penyaluran akan timbul apabila penguasa tidak secepatnya menyelesaikan masalah korupsi. (B. Simanjuntak, S.H., 1981:310)
Di Indonesia sendiri praktik korupsi sudah sedemikian parah dan akut. Telah banyak gambaran tentang praktik korupsi yang terekspos ke permukaan. Di negeri ini sendiri, korupsi sudah seperti sebuah penyakit kanker ganas yang menjalar ke sel-sel organ publik, menjangkit ke lembaga-lembaga tinggi Negara seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif hingga ke BUMN. Apalagi mengingat di akhir masa orde baru, korupsi hampir kita temui dimana-mana. Mulai dari pejabat kecil hingga pejabat tinggi.
Walaupun demikian, peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur tentang tindak pidana korupsi sudah ada. Di Indonesia sendiri, undang-undang tentang tindak pidana korupsi sudah 4 (empat) kali mengalami perubahan. Adapun peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang korupsi, yakni :
  1. Undang-undang nomor 24 Tahun 1960 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
  2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
  3. Undang-undang nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi,
  4. Undang-undang nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi.

  1. B. PENGERTIAN KORUPSI
Dalam ensiklopedia Indonesia disebut “korupsi” (dari bahasa Latin: corruption = penyuapan; corruptore = merusak) gejala dimana para pejabat, badan-badan Negara menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidakberesan lainnya. Adapun arti harfia dari korupsi dapat berupa :
  1. Kejahatan kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.
  2. Perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
  3. 1.  Korup (busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai kekuasaan                    untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
2.  Korupsi (perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya);
3. Koruptor (orang yang korupsi).
Baharuddin Lopa mengutip pendapat dari David M. Chalmers, menguraikan arti istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum. (Evi Hartanti, S.H., 2005:9)
Berdasarkan undang-undang bahwa korupsi diartikan:
  1. Barang siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
  2. Barang siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
  3. Barang siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415, 416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.

  1. PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:
1.  Korporasi  adalah  kumpulan  orang  dan  atau  kekayaan  yang  terorganisasi  baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
2.  Pegawai Negeri adalah meliputi :
a.  pegawai      negeri      sebagaimana        dimaksud      dalam      Undang-undang   tentang
Kepegawaian;
b.  pegawai  negeri  sebagaimana  dimaksud  dalam  Kitab  Undang-undang  Hukum
Pidana;
c.  orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;
d.  orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau
e.  orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.
3.  Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

  1. PENJATUHAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI
Berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 31 Tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001, jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut.

Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi
  1. Pidana Mati
Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

  1. Pidana Penjara
  1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1)
  2. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3)
  3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21)
  4. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.

  1. Pidana Tambahan
  1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.
  2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
  3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
  4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
  5. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
  6. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

  1. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi
Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:
  1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
  2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
  3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.
  4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.
  5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah
  1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
  2. Perbuatan melawan hukum;
  3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;
  4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.

  1. PENUTUP
Dari uraian pengertian dan penyebab korupsi di atas, dapat disimpulkan bahwa akibat dari tindak pidana korupsi sangat luas dan mengakar. Adapun akibat dari korupsi adalah sebagai berikut:
  1. Berkurangnya kepercayaan terhadap pemerintah;
  2. Berkurannya kewibawaan pemerintah dalam masyarakat;
  3. Menyusutnya pendapatan Negara;
  4. Rapuhnya keamanan dan ketahanan Negara;
  5. Perusakan mental pribadi;
  6. Hukum tidak lagi dihormati.



[1]               Yang dimaksud UU Pidana adalah UU yang memuat atau mengatur perumusan tindak pidana, dan berlakunya ketentuann hukum pidana. Khusus untukm hukum tindak pidana khusus diharuskan adanya indicator penyimpangan terhadaphukum pidana  materil dan juga formal.
[2] . Ketentuan dalam UU No. 31/ 1999 jo UU No 30/2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat melakukan penyidikan dan penuntutanTindak Pidana Korupsi., dapat mengambil alih perkara tindak pidana korupsi  baik pada tingkat penyidikan dan atau penuntutan (Ps 8 UU No 30/2002).
[3]  Menurut Hukum Pidana (KUHAP) penyidik adalah POLRI, PPNS tidak ada disebutkan badan lain.
[4]               UU No 7 Drt 1955 dikenal sebagai Hukum Pidana Ekonomi.
[5]               Andi Hamzah. 1983. Hukum Pidana Ekonomi. Erlangga Jakarta hlm 25- 42.
[6]               Schikking setrelah berlakunya UU No 10/1995 dan UU No 11/1999 tidak berlaku lagi.  Akan tetapi ketentuan penyelesaian perkara pidana di luar sidang pengadilan diatur dalam Ps 82 KUHP sepanjang ancaman pidananya denda saja.
[7]               Tertulis sub 1e harus dibaca sub ke 1., demikian juga sub 2e dibaca sub ke 2 dst. Tindak pidana yang terdapat dalam Ps 1 sub 1e sudah beberapa kali diubah dan ditambah. Perubahan terakhir setelah Stb  No 240 tahun  1882 “Rechtenordonantie” dicabut oleh UU No 10 tahun 1995 dan UU No 11 tahun 1995.  Rechtenordonantie ini mengatur ketentuan tentang bea masuk dan keluar sehingga disebut dengan UU Bea.
Bacalah secara teliti ketentuan Pasal 1 sub 1e, sub 2e dan sub 3e . Lalu cari yang mana tindak pidana itu yang telah dicabut dan UU mana yang mencabutnya.
[8]               Kata pengusut adalah istilah yang dikenal dalam HIR yang artinya  sama dengan penyidik dalam KUHAP.
[9]               RI merdeka baru sepuluh tahun. Rakyat Indonesia belum banyak yang dapat sekolah pada jenjang lebih tinggi. Pertama kali ada pendidikan untuk hakim dan Jaksa pada sekolah hakim dan jaksa. (SHD) setelah tahun 60 an.
[10]             Lihat buku Pengantar Hukum Pidana Ekonomi oleh R.Wiyono hlm 92-100. Sedangkan sanksi pidana tambahan lihat hlm 85-92.
[11]             Ketentuan hukum pemberantasan tindak pidana korupsi pada waktu itu adalah Peraturan Penguasa Perang Pusat No Prt/Peperpu/0134/1958..
[12]             Berarti menganut sanksi pidana minimum khusus.

Selasa, 08 November 2011

Teori Kriminologi

A.     TERMINOLOGI DAN DIMENSI TENTANG KRIMINOLOGI
       Terminologi atau istilah kriminologi pertama kali dipergunakan antropolog Prancis, Paul Topiward dari kata crimen (kejahatan/penjahat) dan logos (ilmu pengetahuan). Kemudian Edwin H. Sutherland dan Donald R. Cressey menyebutkan kriminologi sebagai :
“.... the body of knowledge regarding delinquency and crime as social phenomenon. It includes within its scope the process of making law, the breaking of laws, and reacting to word the breaking of laws ...”
        Melalui optik tersebut maka kriminilogi berorientasi pada :
       Pertama, pembuatan hukum yang dapat meliputi telaah konsep kejahatan, siapa pembuat hukum dengan faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam pembuatan hukum. Kedua, pelanggaran hukum yang dapat meliputi siapa pelakunya, mengapa sampai terjadi pelanggaran hukum tersebut serta faktor-faktor yang mempengaruhinya. Ketiga, reaksi terhadap pelanggaran hukum melalui proses peradilan pidana dan reaksi masyarakat.
Kemudian dalam perkembangannya, guna membahas dimensi kejahatan/penjahat, dikenal teori-teori kriminologi. Menurut Williams III dan Marilyn McShane teori itu diklasifikasikan menjadi 3 (tiga) kelompok yaitu :
Pertama, golongan teori abstrak atau teori-teori makro (macrotheories). Pada asasnya, teori-teori dalam klasifikasi ini mendeskripsikan korelasi antara kejahatan dengan struktur masyarakat. Termasuk ke dalam macrotheories ini adalah teori Anomie dan teori Konflik. Kedua, teori-teori mikro (microtheories) yang bersifat lebih konkret. Teori ini ingin menjawab mengapa seorang/kelompok orang dalam masyarakat melakukan kejahatan atau menjadi kriminal (etiology criminal). Konkritnya, teori-teori ini lebih bertendensi pada pendekatan psikologis atau biologis. Termasuk dalam teori-teori ini adalah Social Control Theory dan Social Learning theory. Ketiga, Beidging Theories yang tidak termasuk ke dalam kategori teori makro/mikro dan mendeskripsikan tentang struktur sosial dan bagaimana seseorang menjadi jahat.
Namun kenyataannya, klasifikasi teori-teori ini kerap membahas epidemiologi yang menjelaskan rates of crime dan etiologi pelaku kejahatan. Termasuk kelompok ini adalah Subculture Theory dan Differential Opportunity Theory.
Selain klasifikasi di atas, Frank P. William III dan Marilyn McShane juga mengklasifikasikan berbagai teori kriminologi menjadi 3 (tiga) bagian lagi, yaitu:

1.        Teori Klasik dan Teori Positivis
Asasnya, teori klasik membahas legal statutes, struktur pemerintahan dan hak asasi manusia (HAM). Teori positivis terfokus pada patologi kriminal, penanggulangan dan perbaikan perilaku kriminal individu.

2.        Teori Struktural dan Teori Proses
Teori struktural terfokus pada cara masyarakat diorganisasikan dan dampak dari tingkah laku. Teori struktural juga lazim disebut Strain Theories karena, “Their assumption that a disorganized society creates strain which leads to deviant behavior”. Tegasnya, asumsi dasarnya adalah masyarakat yang menciptakan ketegangan dan dapat mengarah pada tingkah laku menyimpang. Sementara teori Proses, membahas, menjelaskan dan menganalisis bagaimana orang menjadi penjahat.

3.        Teori Konsensus dan Teori Konflik
Teori Konsensus menggunakan asumsi dasar bahwa dalam masyarakat terjadi konsensus/ persetujuan sehingga terdapat nilai-nilai bersifat umum yang kemudian disepakati secara bersama. Sedangkan teori konflik mempunyai asumsi dasar yang berbeda yaitu dalam masyarakat hanya terdapat sedikit kesepakatan dan orang-orang berpegang pada nilai pertentangan. Selain itu, sebagai perbandingan John Hagan mengklasifikasikan teori-teori kriminologi menjadi :
§         Teori-teori Under Control atau teori-teori untuk mengatasi perilaku jahat seperti teori Disorganisasi Sosial, teori Netralisasi dan teori Kontrol Sosial. Pada asasnya, teori-teori ini membahas mengapa ada orang melanggar hukum sedangkan kebanyakan orang tidak demikian.
§         Teori-teori Kultur, Status dan Opportunity seperti teori Status Frustasi, teori Kultur Kelas dan teori Opportunity yang menekankan mengapa adanya sebagian kecil orang menentang aturan yang telah ditetapkan masyarakat dimana mereka tinggal/hidup.
§         Teori Over Control yang terdiri dari teori Labeling, teori Konflik Kelompok dan teori Marxis. Teori-teori ini lebih menekankan pada masalah mengapa orang bereaksi terhadap kejahatan.
Dari klasifikasi di atas, dapat ditarik konklusi bahwa antara satu klasifikasi dengan klasifikasi yang lain tidaklah identik/sama. Aspek ini teoritisi utama (dramatis personal) yang mencetuskannya. Selain itu, pengklasifikasian teori juga dipengaruhi adanya subyektivitas orang yang melakukan klasifikasi sehingga relatif menimbulkan dikotomi dan bersifat artifisial.

B. DIMENSI TEORI-TEORI KRIMINOLOGI DALAM PERSPEKTIF ILMU PENGETAHUAN HUKUM PIDANA MODERN
1. TEORI DIFFERENTIAL ASSOCIATION/ASOSIASI DIFERENSIAL
Pada hakikatnya, teori Differential Association lahir, tumbuh dan berkembang dari kondisi sosial (social heritage) tahun 1920 dan 1930 dimana FBI (Federal Bureau Investigation-Amerika Serikat) memulai prosedur pelaporan tahunan kejahatan kepada polisi. Kemudian, sejak diperhatikannya data ekologi mazhab Chicago (Chicago School) dan data statistik, dipandang bahwa kejahatan merupakan bagian bidang sosiologi, selain bidang biologi atau psikologi. Berikutnya, dalam masyarakat AS terjadi depresi sehingga kejahatan timbul dari “product of situation, opportunity and of comes values” (produk dari situasi, kesempatan dan nilai). Untuk pertama kalinya, seorang ahli sosiologi AS bernama Edwin H. Sutherland, tahun 1934, dalam bukunya Principles of Criminology mengemukakan teori Differential Association. Bila dirinci lebih detail, sebenarnya asumsi dasar teori ini banyak dipengaruhi oleh William I. Thomas, pengaruh aliran Symbolic Interactionism dari George Mead, Park dan Burgess dan aliran ekologi dari Clifford R. Shaw dan Henry D. McKay serta Culture Conflict dari Thorsten Sellin.
Konkritnya, teori Differential Association berlandaskan kepada : “Ecological and Cultural Transmission Theory, Symbolic Interactionism dan Culture Conflict Theory Teori Differential Association terbagi dua versi. Dimana versi pertama dikemukakan tahun 1939, versi kedua tahun 1947. Versi pertama terdapat dalam buku Principle of  Criminology edisi ketiga yang menegaskan aspek-aspek berikut :
§         First any person can be trained to adopt and follow any pattern of behavior which he is able to execute. (Pertama, setiap orang akan menerima dan mengikuti pola-pola prilaku yang dapat dilaksanakan).
§         Second, failure to follow a prescribed pattern of behavior is due to the inconsistencies and lack of harmony in the influences which direct the individual. (Kedua, kegagalan untuk mengikuti pola tingkah laku menimbulkan inkonsistensi dan ketidakharmonisan).
§         Third, the conflict of cultures is therefore the fundamental principle in the explanation of crime. (Ketiga, konflik budaya merupakan prinsip dasar dalam menjelaskan kejahatan).
Selanjutnya, Edwin H. Sutherland mengartikan Differential Association sebagai “the contens of the patterns presented in association”. Ini tidak berarti bahwa hanya pergaulan dengan penjahat yang akan menyebabkan perilaku kriminal, akan tetapi yang terpenting adalah isi dari proses komunikasi dari orang lain. Kemudian, pada tahun 1947 Edwin H. Sutherland menyajikan versi kedua dari teori Differential Association yang menekankan bahwa semua tingkah laku itu dipelajari, tidak ada yang diturunkan berdasarkan pewarisan orang tua. Tegasnya, pola perilaku jahat tidak diwariskan tapi dipelajari melalui suatu pergaulan yang akrab. Untuk itu, Edwin H. Sutherland kemudian menjelaskan proses terjadinya kejahatan melalui 9 (sembilan) proposisi sebagai berikut :
(1)   Criminal behaviour is learned. Negatively, this means that criminal behaviour is not inherited. (Perilaku kejahatan adalah perilaku yang dipelajari. Secara negatif berarti perilaku itu tidak diwariskan).
(2)   Criminal behaviour is learned in interaction with other persons in a process of communication. This commu­nication is verbal in many respects but includes also “the communication of gesture”. (Perilaku kejahatan dipelajari dalam interaksi dengan orang lain dalam suatu proses komunikasi. Komunikasi tersebut terutama dapat bersifat lisan ataupun menggunakan bahasa tubuh).
(3)   The principle part of the learning of criminal behaviour occurs within intimate personal groups. Negatively, this means that the interpersonal agencies of communication, such as movies, and newspaper, plays a relatively unimportant part in the genesis of criminal behaviour. (Bagian terpenting dalam proses mempelajari perilaku kejahatan terjadi dalam kelompok personal yang intim. Secara negatif ini berarti bahwa komunikasi interpersonal seperti melalui bioskop, surat kabar, secara relatif tidak mempunyai peranan penting dalam terjadinya kejahatan).
(4)   When criminal behaviour is learned, the learning includes (a) techniques of committing the crime, which are sometimes very complicated, sometimes very simple. (b) the specific direction of motives, drives, rationalization and attitudes. (Ketika perilaku kejahatan dipelajari, maka yang dipelajari termasuk : (a) teknik melakukan kejahatan, (b) motif-motif, dorongan-dorongan, alasan-alasan pembenar dan sikap-sikap tertentu).
(5)   The specific direction of motives and drives is learned from definitions of the legal codes as favorable on unfavorable. In some societies and individual is surrounded  by persons who inveriably define the legal codes as rules to be observed while in other he is surrounded by person whose definitions are favorable to the violation of legal codes. (Arah dan motif dorongan itu dipelajari melalui definisi-definisi dari peraturan hukum. Dalam suatu masyarakat, kadang seseorang dikelilingi orang-orang yang secara bersamaan melihat apa yang diatur dalam peraturan hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi, namun kadang ia dikelilingi orang-orang yang melihat aturan hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya kejahatan).
(6)   A person becomes delinquent because of an excess of defini­tion favorable to violation of law over definitions unfavor­able to violation of law. (Seseorang menjadi delinkuen karena ekses pola-pola pikir yang lebih melihat aturan hukum sebagai pemberi peluang melakukan kejahatan daripada melihat hukum sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi).
(7)   Differention Association may vary in frequency, duration, priority and intensity. (Asosiasi Diferensial bervariasi dalam frekuensi, durasi, prioritas serta intensitasnya).
(8)   The process of learning criminal behaviour by association with criminal and anticriminal patterns incloves all of the mechanism that are involved in any other learning. (Proses mempelajari perilaku jahat diperoleh melalui hubungan dengan pola-pola kejahatan dan mekanisme yang lazimterjadi dalam setiap proses belajar secara umum).
(9)   While criminal is an expressions of general need and values, it is not explained by those general needs and values since non-criminal behaviour is an expression of the same needs and values. (Sementara perilaku jahat merupakan ekspresi dari kebutuhan nilai umum, namun tidak dijelaskan bahwa perilaku yang bukan jahat pun merupakan ekspresi dari kebutuhan dan nilai-nilai umum yang sama).
Dengan diajukannya teori ini, Sutherland ingin menjadikan pandangannya sebagai teori yang dapat menjelaskan sebab-sebab terjadinya kejahatan. Dalam rangka usaha tersebut, Edwin H. Sutherland kemudian melakukan studi tentang kejahatan White-Collar agar teorinya dapat menjelaskan sebab-sebab kejahatan, baik kejahatan konvensial maupun kejahatan White-Collar. Terlepas dari aspek tersebut, apabila dikaji dari dimensi sekarang, temyata teori Differential Association mempunyai kekuatan dan kelemahan tersendiri. Adapun kekuatan teori Differential Association bertumpu pada aspek-aspek :
(a)    Teori ini relatif mampu untuk menjelaskan sebab-sebab timbulnya kejahatan akibat penyakit sosial ;
(b)   Teori ini mampu menjelaskan bagaimana seseorang karena adanya/melalui proses belajar menjadi jahat ; dan
(c)    Ternyata teori ini berlandaskan kepada fakta dan bersifat rasional.
       Sedangkan kelemahan mendasar teori ini terletak pada aspek :
(a)    Bahwa tidak semua orang atau setiap orang yang berhubungan dengan kejahatan akan meniru/memilih pola-pola kriminal. Aspek ini terbukti untuk beberapa golongan orang, seperti petugas polisi, petugas pemasyarakatan/penjara atau krimilog yang telah berhubungan dengan tingkah laku kriminal secara ekstensif, nyatanya tidak menjadi penjahat.
(b)   Bahwa teori ini belum membahas, menjelaskan dan tidak peduli pada karakter orang-orang yang terlibat dalam proses belajar tersebut.
(c)    Bahwa teori ini tidak mampu menjelaskan mengapa seseorang suka melanggar daripada menaati undang-undang dan belum mampu menjelaskan causa kejahatan yang lahir karena spontanitas.
(d)   Bahwa apabila ditinjau dari aspek operasionalnya ternyata teori ini agak sulit untuk diteliti, bukan hanya karena teoritik tetapi juga harus menentukan intensitas, durasi, frekuensi dan prioritasnya.

2.      TEORI ANOMIE
Secara global, aktual dan representatif teori anomie lahir, tumbuh dan berkembang berdasarkan kondisi sosial (social heritage) munculnya revolusi industri hingga great depression di Prancis dan Eropa tahun 1930-an menghasilkan deregulasi tradisi sosial, efek bagi individu dan lembaga sosial/masyarakat. Perkembangan berikutnya, begitu pentingnya teori analisis struktur sosial sangat dilatarbelakangi usaha New Deal Reform pemerintah dengan fokus penyusunan kembali masyarakat. Untuk pertama kalinya, istilah Anomie diperkenalkan Emile Durkheim yang diartikan sebagai suatu keadaan tanpa norma (the concept of anomie referred to on absence of social regulation normlessness). Kemudian dalam buku The Division of Labor in Society (1893) Emile Durkheim mempergunakan istilah anomie untuk mendeskripsikan keadaan “deregulation” di dalam masyarakat yang diartikan sebagai tidak ditaatinya aturan-aturan yang terdapat pada masyarakat sehingga orang tidak tahu apa yang diharapkan dari orang lain dan keadaan ini menyebabkan deviasi.
Menurut Emile Durkheim, teori anomie terdiri dari tiga perspektif, yaitu :
§         Manusia adalah mahluk sosial (man is social animal).
§         Keberadaan manusia sebagai mahluk sosial (human being is a social animal).
§         Manusia cenderung hidup dalam masyarakat dan keberadaannya sangat tergantung pada masyarakat tersebut sebagai koloni (tending to live in colonies, and his/her survival dependent upon moral conextions).
Kemudian, istilah anomie dikemukakan Emile Durkheim dalam bukunya Suicide (1897) yang mengemukakan asumsi bunuh diri dalam masyarakat merupakan akhir puncak dari anomie karena dua keadaan sosial berupa social integration dan social regulation.
Lebih lanjut, skema hipotesis Durkheim terlihat sebagai berikut :


Social Conditions
High
Low
Social integration
Altruism
Egoism
Social regulation
Fatalism
Anomie

Emile Durkheim mengemukakan bahwa bunuh diri atau suicide berasal dari tiga kondisi sosial yang menekan (stress), yaitu :
(1)   deregulasi kebutuhan atau anomi ;
(2)   regulasi yang keterlaluan atau fatalism ;
(3)   kurangnya integrasi struktural atau egoisme.
Hipotesis keempat dari suicide menunjuk kepada proses sosialisasi dari seorang individu kepada suatu nilai budaya altruistic mendorong yang bersangkutan untuk melaksanakan bunuh diri. Hipotesis keempat ini bukan termasuk teori stress. Pada tahun 1938, Robert K. Merton mengadopsi konsep anomie Emile Durkheim untuk menjelaskan deviasi di Amerika. Konsepsi Merton ini sebenarnya dipengaruhi intelectual heritage Pitirin A. Sorokin (1928) dalam bukunya Contemporary Sociological Theories dan Talcot Parsons (1937) dalam buku The Structure of Social Action. Menurut Robert K. Merton, konsep anomie diredefinisi sebagai ketidaksesuaian atau timbulnya diskrepansi/perbedaan antara cultural goals dan institutional means sebagai akibat cara masyarakat diatur (struktur masyarakat) karena adanya pembagian kelas. Karena itu, menurut John Hagan, teori anomie Robert K. Merton berorientasi pada kelas (“Merton is in exploring variations in crime and deviance by social class”).
Teori anomie Robert K. Merton pada mulanya mendeskripsikan korelasi antara perilaku delinkuen dengan tahapan tertentu pada struktur sosial akan menimbulkan, melahirkan dan menumbuhkan suatu kondisi terhadap pelanggaran norma masyarakat yang merupakan reaksi normal. Untuk itu, ada dua unsur bentuk perilaku delinkuen yaitu unsur dari struktur sosial dan kultural.
Konkritnya, unsur kultur melahirkan goals dan unsur struktural melahirkan means. Secara sederhana, goals diartikan sebagai tujuan-tujuan dan kepentingan membudaya meliputi kerangka aspirasi dasar manusia. Sedangkan means diartikan aturan dan cara kontrol yang melembaga dan diterima sebagai sarana mencapai tujuan. Karena itu, Robert K. Merton membagi norma sosial berupa tujuan sosial (sociatae goals) dan sarana-sarana yang tersedia (acceptable means) untuk mencapai tujuan tersebut. Dalam perkembangan berikutnya, pengertian anomie mengalami perubahan dengan adanya pembagian tujuan-tujuan dan sarana-sarana dalam masyarakat yang terstruktur. Dalam pencapaian tujuan tersebut, ternyata tidak setiap orang menggunakan sarana-sarana yang tersedia, akan tetapi ada yang melakukan cara tidak sesuai dengan cara-cara yang telah ditetapkan (illegitime means).  Aspek ini dikarenakan, menurut Robert K. Merton, struktur sosial berbentuk kelas-kelas sehingga menyebabkan adanya perbedaan-perbedaan kesempatan dalam mencapai tujuan. Misalnya, mereka yang berasal dari kelas rendah (lower class) mempunyai kesempatan lebih kecil dalam mencapai tujuan bila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari kelas tinggi (uper class). Robert K. Merton mengemukakan lima cara mengatasi anomie dalam setiap anggota kelompok masyarakat dengan tujuan yang membudaya (goals) dan cara yang melembaga (means), seperti tampak pada tabel Model of Adaptation.

Tabel  Model of Adaptation
Adjustment/adaptation
forms
Cultural goals
Institutionalized
Means
1.
Conformity
+
+
2.
Innovation
+
-
3.
Ritualism
-
+
4.
Retreatism
-
-
5.
Rebelion
+/-
+/-
             Keterangan :
       +    acceptances (penerimaan)
-     elliminaation (penolakan)
+/-  rejection and subtitution of new goals and means
  (penolakan dan penggantian tujuan dan cara baru)

Kelima bentuk penyesuaian tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
(1)   Conformity (konformitas) adalah suatu keadaan dimana warga masyarakat tetap menerima tujuan dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat karena adanya tekanan moral.
(2)   Innovation (inovasi) yaitu keadaan dimana tujuan dalam masyarakat diakui dan dipelihara tetapi mengubah sarana-sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut.
(3)   Ritualism (ritualisme) yaitu keadaan dimana warga masyarakat menolak tujuan yang telah ditetapkan namun sarana-sarana yang telah ditentukan tetap dipilih.
(4)   Retreatism (penarikan diri) merupakan keadaan dimana para warga masyarakat menolak tujuan dan sarana yang telah disediakan.
(5)   Rebellion (pemberontakan) adalah suatu keadaan dimana tujuan dan sarana yang terdapat dalam masyarakat ditolak dan berusaha untuk mengganti atau mengubah seluruhnya.
Dari skema penyesuaian diri Robert K. Merton di atas maka inovasi, ritualisme, penarikan diri dan pemberontakan merupakan bentuk penyesuaian diri yang menyimpang dari norma-norma yang berlaku. Karena itu, pengadaptasian yang gagal pada struktur sosial merupakan fokus dari teori Robert K. Merton (Problems of acces to legitimate means of achieving the goals are the focus of Anomie Theory). Sebagai sebuah teori, maka Anomie merupakan golongan teori abstrak/macrotheoriess dalam klasifikasi teori positif Frank P. William dan Marilyn McShane, atau dengan melalui pendekatan teorinya secara sociological (Frank Hagan). Teori anomie Robert K. Merton diperbaiki Cloward & Ohlin (1959) dengan mengetengahkan teori differential opportunity. Cloward & Ohlin mengatakan bahwa sesungguhnya terdapat cara-cara untuk mencapai sukses, yaitu cara yang disebutnya “legitimate dan illegitimate”. Sedangkan Robert K. Merton hanya mengakui cara yang pertama.

3.      TEORI SUB-CULTURE
Pada dasarnya, teori sub-culture membahas dan menjelaskan bentuk kenakalan remaja serta perkembangan berbagai tipe gang. Sebagai social heritage, teori ini dimulai tahun 1950-an dengan bangkitnya perilaku konsumtif kelas menengah Amerika. Di bidang pendidikan, para kelas menengah mengharapkan pendidikan universitas bagi anak-anak mereka. Kemudian dalam bidang iptek, keberhasilan Uni Soviet mengorbitkan satelit pertamanya akhirnya berpengaruh besar dalam sistem pendidikan di AS. Di sisi lain, memunculkan urbanisasi yang membuat daerah pusat kota menjadi kacau balau dan hal ini merupakan problem perkotaan. Sehingga, kenakalan adalah problem kelas bawah serta gang adalah bentuk paling nyata dari pelanggaran tersebut. Teori sub-culture sebenarnya dipengaruhi kondisi intelektual (intelectual heritage) aliran Chicago, konsep anomie Robert K. Merton dan Solomon Kobrin yang melakukan pengujian terhadap hubungan antara gang jalanan dengan laki-laki yang berasal dari komunitas kelas bawah (lower class).
Hasil pengujiannya menunjukkan bahwa ada ikatan antara hierarki politis dan kejahatan teroganisir. Karena ikatan tersebut begitu kuat sehingga Kobrin mengacu kepada “Kelompok Pengontrol Tunggal” (single controlling group) yang melahirkan konsep komunitas integrasi.
Dalam kepustakaan kriminologi dikenal dua teori sub-culture, yaitu:

§         TEORI DELINQUENT SUB-CULTURE
Teori ini dikemukakan Albert K. Cohen dalam bukunya delinquent boys (1955) yang berusaha memecahkan masalah bagaimana kenakalan sub-culture dimuali dengan menggabungkan perspektif teori Disorganisasi Sosial dari Shaw dan McKay, teori Differential Association dari Edwin H. Sutherland dan teori Anomie Albert K. Cohen berusaha menjelaskan terjadinya peningkatan perilaku delinkuen di daerah kumuh (slum). Karena itu, konklusi dasarnya menyebutkan bahwa perilaku delinkuen di kalangan remaja, usia muda masyarakat kelas bawah, merupakan cermin ketidakpuasan terhadap norma dan nilai kelompok kelas menengah yang mendominasi kultur Amerika.
Kondisi demikian mendorong adanya konflik budaya yang oleh Albert K. Cohen disebut sebagai “Status Frustration”. Akibatnya, timbul keterlibatan lebih lanjut anak-anak kelas bawah dan gang-gang dan berperilaku menyimpang yang bersifat “nonutilitarian, malicious and negativistic (tidak berfaedah, dengki dan jahat)”. Konsekuensi logis dari konteks diatas, karena tidak adanya kesempatan yang sama dalam mencari status sosial pada struktur sosial maka para remaja kelas bawah akan mengalami problem status di kalangan remaja. Akhirnya, Albert K. Cohen bersama James Short melakukan klasifikasi sub-sub budaya delinkuen, menjadi :
(a)   A parent male sub-culture the negativistic sub culture originally identified to delinquent boys ;
(b)   The conflict-oriented sub-culture the culture of a large gang that engages in collective violence ;
(c)    The drug addict sub-culture groups of youth whose lives revolve around the purchase sale, use of narcotics ;
(d)   Semi profesional theft-youths who engage in the theft or robbery of merchandise for the purpose of later sale and monetary gain ; and
(e)    Middle-class sub-culture-delinquent group that rise, because of the pressures of living in middle-class environments.

§         TEORI DIFFERENTIAL OPPORTUNITY
Teori perbedaan kesempatan (differential opportunity) dikemukakan Richard A. Cloward dan Leyod E. Ohlin dalam bukunya Delinquency and Opportunity: a Theory of Delinquent Gang (1960) yang membahas perilaku delinkuen kalangan remaja (gang) di Amerika dengan perspektif Shaw dan McKay serta Sutherland. Menurut Cloward, terdapat struktur kesempatan kedua yang tidak dibahas teori anomie Robert K. Merton yaitu adanya kesempatan tidak sah (the illegitimate opportunity structure). Pada dasarnya, teori Differential Opportunity berorientasi dan membahas penyimpangan di wilayah perkotaan. Penyimpangan tersebut merupakan fungsi perbedaan kesempatan yang dimiliki anak-anak untuk mencapai tujuan legal maupun illegal. Untuk itu, Cloward dan Ohlin mengemukakan 3 (tiga) tipe gang kenakalan Sub-culture, yaitu :
(a)    Criminal Sub-culture, bilamana masyarakat secara penuh berintegrasi, gang akan berlaku sebagai kelompok para remaja yang belajar dari orang dewasa. Aspek itu berkorelasi dengan organisasi kriminal. Kriminal sub-culture menekankan aktivitas yang menghasilkan keuntungan materi, uang atau harta benda dan berusaha menghindari penggunaan kekerasan.
(b)   Retreatist Sub-culture, dimana remaja tidak memiliki struktur kesempatan dan lebih banyak melakukan perilaku menyimpang (mabuk-mabukan, penyalah gunaan narkoba dan lain sebagainya).
(c)    Conflict Sub-culture, terdapat dalam suatu masyarakat yang tidak terintegrasi, sehingga suatu organisasi menjadi lemah. Gang sub-culture demikian ini cenderung memperlihatkan perilaku yang bebas. Ciri khas gang ini seperti adanya kekerasan, perampasan harta benda dan perlikau menyimpang lainnya.

4.      TEORI CULTURE CONFLICT
Teori Culture Conflict atau konflik kebudayaan akan dikaji dari perspektif social heritage, intellectual heritage, teori serta asumsi dasarnya sehingga diharapkan relatif memadai untuk memahami teori culture conflict.
Berangkat dari polarisasi pemikiran di atas lebih lanjut dikaji mengenai :
Ø      Social Heritage/kondisi sosial
Sejak beberapa tahun terakhir, banyak kajian dilakukan tentang konflik budaya dan kenakalan. Asumsinya bahwa keberadaan conduct norm yang legal maupun tidak, berada dalam konflik satu sama lainnya. Konflik budaya yang menyertai conduct norm merupakan akibat migrasi (perpindahan conduct norm dari satu budaya atau wilayah yang kompleks ke budaya lainnya). Menurut aliran Chicago, urbanisasi dan industrialisasi telah menciptakan masyarakat yang memiliki variasi budaya bersaing dan berpeluang terpecah belah sebagai ulah masing-masing keluarga, kelompok persahabatan dan kelompok sosial yang menjadi lebih individual, sehingga timbul konflik. Perilaku menyimpang umumnya terjadi tatkala seseorang berperilaku menurut tindakannya yang berkonflik dengan tatanan budaya yang dominan.

Ø      Intellectual Heritage
Teori konflik budaya dipengaruhi kondisi intelektual (Intellectual Heritage) dari beberapa kaum intelektual, yaitu :
a.       Frank Speek menyatakan bahwa konflik budaya dapat terjadi akibat dari pertumbuhan peradaban.
b.      Edwin H. Sutherland menyatakan bahwa culture conflict merupakan dasar terjadinya kejahatan.
c.       Taft menyatakan, “crime is product of culture”.
d.      Louis With menyatakan bahwa culture conflict merupakan faktor penting dalam timbulnya kejahatan.
e.       Clifford Shaw menunjukkan bahwa daerah perkotaan ditandai adanya kemiskinan yang amat sangat, perumahan kumuh yang tidak layak huni, pengaruh tetangga yang kurang menguntungkan, adanya kelompok gang anak-anak nakal, menjadi pemicu terjadinya konflik perilaku.

Ø      Teori Culture Conflict
Teori ini dikemukakan Thorsten Sellin dalam bukunya Culture Conflict and Crime (1938). Fokus utama teori ini mengacu pada dasar norma kriminal dan corak pikiran/sikap. Thorsten Sellin menyetujui bahwa maksud norma-norma mengatur kehidupan manusia setiap hari, norma adalah aturan-aturan yang merefleksikan sikap dari kelompok satu dengan lainnya. Konsekuensinya, setiap kelompok mempunyai norma dan setiap norma dalam setiap kelompok lain memungkinkan untuk konflik. Setiap individu boleh setuju dirinya berperan sebagai penjahat melalui norma yang disetujui kelompoknya, jika norma kelompoknya bertentangan dengan norma yang dominan dalam masyarakat. Persetujuan pada rasionalisasi ini, merupakan bagian terpenting untuk membedakan antara yang kriminal dan nonkriminal dimana yang satu menghormati pada perbedaan kehendak/tabiat norma.

Ø      Asumsi Dasar Teori Culture Conflict
Secara gradual dan substansial, menurut Thorsten Sellin, semua culture conflict merupakan konflik dalam nilai sosial, kepentingan dan norma. Karena itu, konflik kadang-kadang merupakan hasil sampingan dari proses perkembangan kebudayaan dan peradaban atau acapkali sebagai hasil berpindahnya norma-norma perilaku daerah/budaya satu ke budaya lain dan dipelajari sebagai konflik mental.
Konflik norma tingkah laku dapat timbul karena adanya perbe­daan cara dan nilai sosial yang berlaku di antara kelompok-kelompok. Begitu pula, konflik norma terjadi karena berpindahnya orang desa ke kota. Konflik norma dalam aturan-aturan kultural yang berbeda dapat terjadi antara lain disebabkan tiga aspek, yaitu :

v     Bertemunya dua budaya besar.
Konflik budaya dapat terjadi apabila adanya benturan aturan pada batas daerah kultur yang berdampingan. Contohnya, bertemunya orang-orang Indian dengan orang-orang kulit putih di AS. Pertemuan tersebut mengakibatkan terjadinya kontak budaya di antara mereka, baik terhadap agama, cara bisnis dan budaya minum minuman kerasnya yang dapat memperlemah budaya suku Indian tersebut.

v     Budaya besar menguasai budaya kecil.
Konflik budaya dapat juga terjadi apabila satu budaya memperluas daerah berlakunya budaya tersebut terhadap budaya lain. Aspek ini terjadi dengan norma hukum dimana undang-undang suatu kelompok kultural diperlakukan untuk daerah lain. Misalnya, diberlakukannya hukum Perancis terhadap suku Khabile di Aljazair, atau bergolaknya daerah Siberia ketika diterapkannya hukum Uni Soviet.

v     Apabila anggota dari suatu budaya pindah ke budaya lain.
Konflik budaya timbul karena orang-orang yang hidup dengan budaya tertentu kemudian pindah ke lain budaya yang berbeda. Misalnya, walaupun mempunyai budaya vendetta, karena pindah ke AS maka orang-orang Sicilia tunduk pada hukum AS.
Berdasar asumsi di atas ternyata Thorsten Sellin membedakan antara konflik primer dan konflik sekunder. Konflik primer dapat terjadi ketika norma dari dua kultur, bertentangan. Pertentangan ini dapat terjadi pada batas areal kultur yang dimiliki masing-masing ketika hukum dari kelompok lain muncul ke permukaan daerah/teritorial lain atau ketika orang-orang satu kelompok pindah pada kultur yang lain.  Konflik sekunder timbul ketika dari sebuah kultur kemudian terjadi varietas kultur, salah satunya dibentuk dari penormaan sikap/tabiat. Tipe konflik ini terjadi ketika kesederhanaan kultur pada masyarakat yang homogen berubah menjadi masyarakat yang kompleks.

5.      TEORI LABELING
Teori Labeling timbul pada awal tahun 1960-an dan banyak dipengaruhi aliran Chicago. Dibandingkan dengan teori lainnya, teori labeling mempunyai beberapa spesifikasi, yaitu :
§         Teori labeling merupakan cabang dari teori terdahulu. Namun, teori menggunakan perspektif baru dalam kajian terhadap kejahatan dan penjahat ;
§         Teori labeling menggunakan metode baru untuk mengetahui adanya kejahatan, dengan menggunakan self report study yaitu interviu terhadap pelaku kejahatan yang tidak tertangkap/tidak diketahui polisi.
Pada dasarnya, teori labeling dikorelasikan dengan buku Crime and the Community dari Frank Tannenbaum (1938). Kemudian dikembangkan oleh Howard Becker (The Outsider, 1963), Kai T. Erikson (Notes on the Sociology of Deviance, 1964), Edwin Lemert (Human Deviance Social Problem and Social Control, 1967) dan Edwin Schur (Labeling Deviant Behavioer, 1971). Dari perspektif Howard S. Becker, kajian terhadap teori label menekankan kepada dua aspek, yaitu :
*      Menjelaskan tentang mengapa dan bagaimana orang-orang tertentu diberi cap atau label.
*      Pengaruh/efek dari label sebagai suatu konsekuensi penyimpangan tingkah laku.
Dengan demikian, reaksi masyarakat terhadap suatu perilaku dapat menimbulkan perilaku jahat. Kemudian F.M. Lemert, terkait dengan masalah kejahatan yang dilakukan, membedakan tiga bentuk penyimpangan, yaitu :
(a)    Individual deviation, dimana timbulnya penyimpangan diakibatkan tekanan psikis dari dalam ;
(b)   Situational deviation, sebagai hasil stres atau tekanan dari keadaan ; dan
(c)    Systematic deviation, sebagai pola-pola perilaku kejahatan terorganisir dalam sub-sub kultur atau sistem tingkah laku.
F.M. Lemert juga membedakan antara penyimpangan primer (primary deviance) dan penyimpangan sekunder (secondary deviance). Penyimpangan primer muncul dalam konteks sosial, budaya dan yang sangat bervariasi dan hanya mempunyai efek samping bagi struktur fisik individu. Pada asasnya, penyimpangan primer tidak mengakibatkan reorganisasi simbolis pada tingkat sikap diri dan peran sosial. Penyimpangan sekunder adalah perilaku menyimpang atau peran sosial yang berdasar pada penyimpangan primer. Para ahli teori label mengemukakan bahwa penyimpangan sekunder adalah yang paling penting, karena merupakan proses interaksi antara orang yang dilabel dengan pelabel dan pendekatan ini sering disebut teori interaksi. Menurut Howard S. Becker, harus dibedakan antara pelanggar hukum dengan pelaku kejahatan. Pelanggaran hukum merupakan perilaku, sedangkan kejahatan adalah reaksi kepada orang lain terhadap perilaku itu. Pelabelan terhadap seseorang terjadi pada saat/waktu ketika melakukan aksi, siapa yang melakukan dan siapa korbannya serta persepsi masyarakat terhadap konsekuensi aksinya.
Apabila dijabarkan, secara gradual asumsi dasar teori labeling meliputi aspek-aspek :
v     Tidak ada satupun perbuatan yang pada dasarnya bersifat kriminal.
v     Perumusan kejahatan dilakukan oleh kelompok yang bersifat dominan atau kelompok berkuasa.
v     Penerapan aturan tentang kejahatan dilakukan untuk kepentingan pihak yang berkuasa ;
v     Orang tidak menjadi penjahat karena melanggar hukum, tapi karena ditetapkan demikian oleh penguasa.
v     Pada dasarnya semua orang pernah melakukan kejahatan, sehingga tidak patut jika dibuat dua kategori, yaitu jahat dan orang tidak jahat.

6.      TEORI KONFLIK
Ø      Social Heritage
Pada dasarnya dekade tahun 1965-1975 merupakan masa kekacauan yang melanda masyarakat Amerika. Setelah berakhirnya periode optimisme (akhir 1950 sampai awal 1960-an), banyak orang di AS kecewa pada masyarakat mereka. Adanya kesuksesan gerakan hak-hak sipil berhasil memberi inspirasi, seperti kelompok wanita dan homoseksual yang mencari ciri-ciri mereka sendiri dan persamaan dalam kesempatan-kesempatan sosial. Kemudian, sejumlah demonstrasi muncul dalam rangka menentang perang Vietnam pada tahun 1965-1968.
Semua peristiwa ini merupakan bagian suasana dari kalangan orang muda yang menanyakan nilai-nilai kelas menengah Amerika, model kehidupan orang tua mereka yang konvensional. Akhirnya, skandal politik watergate memecahkan bayangan keraguan sinisme mengenai moralitas dan integritas semua aspek dari pemerintah Amerika.

Ø      Intelectual Heritage
          Pada hakikatnya, teori konflik merupakan cabang dari teori label. Pemikiran teori konflik berakar dari teori-teori sosial Jerman seperti Hegel, Karl Marx, Simmel dan Weber untuk memperoleh arah. Ilmuan sosial bereaksi terhadap peristiwa-peristiwa waktu itu mulai menanyakan tentang sosial dan struktur hukum mengenai label yang sudah ditolak pernyataan Richard Quinney (1965) dan Austin T. Turk (1964) diarahkan pada reaksi masyarakat (societal reaction). Menurut Bonger, pada awal abad ke-20 terjadi penciptaan teori kriminologi yang menggabungkan Marxis dan pendekatan psychoanalytic. Selanjutnya, pendorong penting terhadap bentuk konservatif teori konflik adalah Lewis Coser (1956) dan Ralf Dahrendorf (1958, 1959). Gagasan-gagasan mereka inilah yang memperluas sudut pandang di tahun 60-an. Sementara itu, meningkatnya radikalisme kaum akademis, secara umum menghidupkan lagi kepentingan teori Marx dan beberapa teoritisi mulai memakai teori Marxist terhadap kejahatan dan struktur legal. Dalam teori konflik, perilaku menyimpang didefinisikan oleh kelompok berkuasa dalam masyarakat untuk kepentingan mereka sendiri.



Ø      Asumsi Dasar
      Hakikatnya, asumsi dasar teori konflik berorientasi kepada aspek-aspek sebagai berikut :
§         konflik merupakan hal yang bersifat alamiah dalam masya­rakat ;
§         pada tiap tingkat, masyarakat cenderung mengalami peru­bahan. Sehingga disetiap perubahan, peranan kekuasaan terhadap kelompok masyarakat lain terus terjadi ;
§         kompetisi untuk terjadinya perubahan selalu eksis ;
§         dalam kompetisi, penggunaan kekuasaan hukum dan penegakan hukum selalu menjadi alat dan mempunyai peranan penting dalam masyarakat.
Berangkat dari asumsi dasar di atas, perspektif konflik menganut prinsip-prinsip sebagai berikut :
§         masyarakat terdiri dari kelompok-kelompok yang berbeda ;
§         terjadi perbedaan penilaian dalam kelompok-kelompok tersebut tentang baik dan buruk ;
§         konflik antara kelompok-kelompok tersebut mencerminkan kekuasaan politik ;
§         hukum dibuat untuk kepentingan mereka yang memiliki kekuasaan politik ;
§         kepentingan utama dari pemegang kekuasaan politik untuk menegakkan hukum adalah menjaga dan memelihara kekuasaannya.
Berangkat dari asumsi dasar dan prinsip-prinsip tersebut di maka bentuk teori konflik dapat dibagi menjadi dua bagian, konflik konservatif dan konflik radikal.

1.        Perspektif Konflik Konservatif
Konsep dasar dari teori konflik adalah kekuasaan dan penggunannya. Teori ini beranggapan bahwa konflik terjadi di antara kelompok-kelompok yang mencoba menggunakan kontrol atas suatu situasi. Teori konflik mempunyai asumsi bahwa siapa yang memiliki kekuasaan lebih tinggi dalam kelas sosial akan memiliki powerful members pada masyarakat. Dengan kekuasaannya tersebut mereka dapat mempengaruhi pembuatan keputusan, juga dapat memaksakan nilai-nilai terhadap kelas sosial yang lebih rendah.
Pada proses pembentukan hukum, kelas sosial yang lebih dominan dalam masyarakat akan menggunakan kekuasaan untuk mempengaruhi hukum tersebut dengan nilai-nilai mereka. Kelas sosial tersebut akan menjadi pemegang dan siapa yang menentang mereka akan menjadi target dari penegak hukum. Pada aspek ini, teori labeling cocok dengan teori konflik untuk menjelaskan proses reaksi dimana kelas yang sedikit memiliki kekuasaan akan menjadi perhatian dari para penegak hukum. Teori konflik konservatif juga mengemukakan hubungan antara penggunaan kekuasaan dan pembentukan hukum. Pembentukan hukum merupakan perwujudan nilai-nilai para pembuatnya, hukum dalam menentukan perbuatan kriminalisasi lebih diarahkan kepada mereka yang berada di luar kelompok pemegang kekuasaan.
Dua tokoh teori konflik yang mengilustrasikan karakteristik bentuk konflik adalah George B. Vold dan Austin T. Vold. Keduanya melahirkan suatu teori dengan menekankan bahwa dalam suatu masyarakat terdapat kelompok alamiah dan berbagai kelompok kepentingan yang berlomba terhadap kelompok alamiah lain. Austin T. Vold menilai, di antara kelompok tersebut akan terjadi konflik kepentingan dan berkompetisi. Austin T. Vold berbicara mengenai adanya konflik dalam hukum pidana, sebagai berikut : “...the whole process of law making, law breaking, and law enforcement directly refleas deep-seated and fundamental conflics between group interest and the more general struggles among group for control of the police of the state”. Akhirnya Austin T. Vold berpendapat bahwa sejak kelompok minoritas tidak memiliki kekuatan untuk mempengaruhi proses legislatif, tingkah laku mereka akan dikategorikan sebagai perbuatan kriminal. George B. George menganalisis mengenai konflik, kekuasaan dan kejahatan. Dalam analisisnya, ia menyimpulkan dari beberapa premis dasar teori konflik, bahwa kejahatan merupakan produk kekuasaan politik dalam masyarakat yang heterogen. Menurut Austin T. Vold, persaingan kelompok-kelompok berkepentingan mempengaruhi pembuat peraturan untuk kepentingan kelompoknya. Hal ini bisa disebut sebagai refleksi konflik kelas terhadap proses politik tentang law making, law breaking and law enforcement. Perilaku kejahatan menjelaskan dalam hubungan ideologi konflik dimana konflik timbul, berakibat, sebagai akses dari kelompok minoritas dengan sedikit atau tanpa kekuasaan yang mempengaruhi perubahan dalam hukum.
Tokoh teori konflik lainnya, Austin T. Turk mengatakan bahwa ketertiban masyarakat merupakan hasil dari kekuasaan kelompok tertentu untuk mengontrol masyarakat itu sendiri. Kontrol ini adalah pemaksaan dari penempatan nilai-nilai ke dalam hukum dan kemudian adanya kekuasaan untuk menegakkan hukum. Austin T. Turk memulai konflik dengan artikel yang disebutnya sebagai “the study of criminality as opposed to criminal behavior” (1964). Austin T. Turk menjelaskan bahwa kejahatan hanya dapat ditemukan hukum pidana/kriminal. la mencoba untuk mencari hubungan antara kejahatan dengan hukum pidana. Seseorang dapat dinyatakan sebagai penjahat dalam hubungan antara penguasa dan subyek. Austin T. Turk kemudian menyatakan bahwa kejahatan merupakan status yang diperoleh penentang norma, yang diterima sebagai norma sosial. Konsep hubungan penguasa dengan subyek merupakan suatu hubungan yang penting. Austin T. Turk melihat bahwa penguasa harus menghadapi fakta dalam kehidupan, yang biasanya memerlukan alat untuk menjalankan kekuasaannya.
Lebih lanjut, Austin T. Turk mengemukakan dua cara yang dipergunakan untuk mengontrol masyarakat. Pertama, penguasa menggunakan paksaan atau kekuatan fisik. Penguasa lebih banyak menggunakan paksaan agar hukum ditaati. Hal ini diperlukan karena mereka merasa kesulitan untuk mengontrol masyarakat. Bentuk kontrol yang kedua, lebih bersifat halus. Menurut mereka, hukum merupakan sesuatu yang penting. Karena itu terdapat dua tipe hukum, yaitu :
1)      Aturan dari para petugas tentang bentuk perilaku jahat beserta pidana yang dikenakan.
2)      Menetapkan aturan-aturan untuk memproses orang-orang melalui penilaian sistem hukum. Digunakannya proses hukum ini memperlihatkan para penguasa menggunakan kontrol secant halus.


2.        Perspektif Konflik Radikal
Teori konflik radikal memposisikan diri dari anarki politik menyambung Marxisme dan materialisme ekonomis menuju perbedaan nilai. Sangat sulit untuk menentukan pendekatan apa yang digunakan. Para tokoh teori ini adalah Camblis, Quinney, Gordon Bohm dan K. Mark. Semua versi dari tokoh-tokoh di atas menyesuaikan uraiannya terhadap pendapat K. Marx. Ketika K. Marx sangat sedikit menyinggung masalah kejahatan dan penjahat, beberapa tokoh radikal kriminologi menyesuaikan contoh-contoh umum masyarakat untuk menjelaskan mengenai kejahatan. K. Marx melihat konflik dalam masyarakat disebabkan adanya hak manusia atas sumber-sumber tersebut, khususnya mengenai kekuasaan. Ketidaksamaan ini tercipta karena konflik kepentingan antara yang memiliki dan yang tidak memiliki kekuasaan. Dalam masyarakat industri, konflik akan timbul di antara para pekerja dan kaum pemilik modal. Para pekerja, yang meru­pakan kaum buruh, akan mengembangkan prinsip perebutan (struggle) dan mereka menganggap kedudukan sebagai pemilik modal dalam masyarakat merupakan hal yang sangat menarik perhatian. Menurut teori konflik K. Marx, perilaku menyimpang didefinisikan oleh kelompok berkuasa dalam masyarakat untuk kepentingan mereka sendiri.
Konflik merupakan :
-        fenomena yang alami/wajar ;
-        selalu terdapat dalam masyarakat ;
-        berdasarkan atas persepsi dan makna.
Konflik dalam masyarakat ditentukan oleh kelompok-kelompok, didasarkan atas kepentingan mereka dan persepsi terhadap konflik dan biasanya konflik kepentingan tercipta dalam proses pembuatan hukum. Menurut kaum radikal, terdapat dua hal yang menyebabkan kelompok, yakni perebutan kepentingan dan persepsi terhadap konflik. Biasanya, konflik kepentingan tercipta dalam proses pembuatan hukum. Pertama, mereka menganggap bahwa kelompoknya merupakan alat dari kaum rulling class. Pengertian kejahatan dalam hukum merupakan refleksi pada konsep kapitalisme. Sedangkan prilaku rulling class secara umum tidak ditempatkan di bawah hukum pidana. Kedua, kaum radikal melihat semua kejahatan sebagai hasil perebutan kelompok yang merupakan pencerminan dari individualisme dan kompetisi. Pada akhir pembahasan mengenai konflik radikal, Richard Quinny (1977) dan Steven Spitze (1975) membahas berlebihnya jumlah buruh sebagai suatu permasalahan dalam masyarakat kapitalis. Berlebihnya buruh akan menyebabkan gaji rendah, tetapi berlebihnya jumlah buruh yang sangat besar akan menimbulkan permasalahan.
Selanjutnya, Steven Spitzer mengemukakan lima tipe akibat berlebihnya jumlah buruh yang dikatakan sebagai population problem, yaitu :
(1)        orang miskin akan mencuri dari orang kaya ;
(2)        mereka akan menolak untuk bekerja ;
(3)        mereka tetap menggunakan obat bius ;
(4)        mereka menolak untuk sekolah atau tidak percaya terhadap yang diperoleh dari kehidupan keluarga ;
(5)        mereka akan mengusulkan suatu masyarakat yang nonkapitalis."
Beberapa tokoh juga mengemukakan pendapat lain tentang teori konflik. Joseph R. Gusfield's menjelaskan mengenai “Tem­perance movement.” Menurut Gusfield's produksi, penjualan dan minuman keras masih didominasi kelompok yang berkepentingan tetapi bukan masalah moralitas. Joseph R. Gusfield's memperhatikan amandemen ke-18 dimana, “... undang-undang larangan perdagangan minuman keras merupakan simbol kemenangan dari kelas menengah pedesaan melawan kaum imigran.” Alexander Liazos menjelaskan mengenai peranan kekuasaan dalam menentukan defmisi kejahatan.
Teori labeling menfokuskan diri pada bentuk “dramatic” dari penyimpangan. Simecca dan Lee mengetengahkan tiga perspektif hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan serta tiga paradigma tentang studi kejahatan. Perspektif dimaksud adalah consencus, pluralist dan conflict atau dipandang sebagai suatu keseimbangan yang bergerak dari konservatif, liberal dan terakhir radikal. Sementara, ketiga paradigma dimaksud adalah positivis, interaksionis dan sosialis. Ketiga perspektif dan paradigma tadi berkaitan erat satu sama lain sehingga secara skematis dapat digambarkan sebagai berikut :

PERSPEKTIF
KONSENSUS
PLURALIS
KONFLIK

(Conservative)
(Liberal)
(Radikal)
PARADIGMA
POSITIVIS
INTERAKSIONIS
SOSIALIS

Perspektif konsensus beranjak dari nilai-nilai yang hidup di tengah-tengah masyarakat Amerika Serikat. Prinsip-prinsip yang dianut oleh perspektif ini adalah :
1.      hukum merupakan pencerminan dari kehendak masyarakat banyak ;
2.      hukum melayani semua orang tanpa kecuali atau secara negatif dapat dikatakan bahwa hukum tidak membeda-bedakan seseorang atas dasar ras, agama dan suku bangsa ; dan
3.      mereka yang melanggar hukum mencerminkan keunikan-keunikan atau merupakan kelompok yang unik.
Prinsip-prinsip yang dianut perspektif konsensus ini memiliki dampak terhadap paradigma positivis dari studi kejahatan. Sebagai suatu paradigma studi kejahatan, positivis menekankan pada determinisme dimana tingkah laku seseorang adalah hasil hubungan sebab-akibat yang erat individu bersangkutan dengan lingkungannya. Perspektif pluralis dihasilkan dari suatu keadaan masyarakat majemuk dan kompleks. Jika model konsensus mengenai adanya kesepakatan-kesepakatan atas nilai-nilai (values) dan kepentingan-kepentingan (interest), maka perspektif pluralis justru mengakui adanya pelbagai kelompok dalam masyarakat yang memiliki berbagai ragam kepentingan dan nilai-nilai.
Hukum, menurut model pluraris, tumbuh dalam masyarakat bukan karena kesepakatan-kesepakatan melainkan justru karena tidak adanya kesepakatan di antara anggota dalam masyarakat.
Prinsip yang dianut pluralis adalah :
1.      masyarakat terdiri dari pelbagai kelompok ;
2.      dalam kelompok-kelompok ini terjadi perbedaan, bahkan pertentangan mengenai apa yang disebut benar dan salah ;
3.      terdapat kesepakatan tentang mekanisme penyelesaian sengketa ;
4.      sistem hukum memiliki sifat bebas-nilai ; dan
5.      sistem hukum berpihak pada kesejahteraan terbesar masyarakat.
Pengaruh model perspektif pluralis terhadap paradigma studi kejahatan yang interaksionis terletak pada pengakuannya atas kemajemukan kondisi yang tumbuh dalam masyarakat. Pengaruh dimaksud kemudian menumbuhkan pentingnya peran pada penganut paradigma interaksionis.



7.  TEORI KONTROL
Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari jawaban mengapa orang melakukan kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya, pemunculan teori kontrol disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama, adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku kriminal. Kriminologi konservatif (sebagaimana teori ini berpijak) kucang menyukai “kriminologi baru” atau “new criminology” dan hendak kembali kepada subyek semula, yaitu penjahat (criminal). Kedua, munculnya studi tentang “criminal justice” dimana sebagai suatu ilmu baru telah mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem. Ketiga, teori kontrol sosial telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi tingkah laku anak/remaja, yakni selfreport survey.
Perkembangan berikutnya, selama tahun 1950-an beberapa teorisi mempergunakan pendekatan teori kontrol terhadap kenakalan remaja. Pada tahun 1951, Albert J. Reiss, Jr menggabungkan konsep kepribadian dan sosialisasi dengan hasil penelitian dari aliran Chicago dan menghasilkan teori kontrol sosial. Menurut Reiss, terdapat tiga komponen kontrol sosial dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu :
1.      A lack of proper internal controls developed during child­hood (kurangnya kontrol internal yang memadai selama masa anak-anak).
2.      A breakdown of those internal controls (hilangnya kontrol internal).
3.      An absence of or conflict in social rules provided by important social group (the family, close other, the school) (tidak adanya norma-norma sosial atau konflik antara norma-norma dimaksud di keluarga, lingkungan dekat, sekolah).
Selanjutnya, Albert J. Reiss, Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan sosial control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat. Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok sosial atau lembaga-lembaga di masyarakat melaksanakan norma-norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif. Pada tahun 1957, Jackson Toby memperkenalkan pengertian “Commitment” individu sebagai kekuatan yang sangat menentukan dalam membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan Irvine Piliavian menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi/ penyesuaian diri memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan. Pendekatan lain digunakan Walter Reckless (1961) dengan bantuan rekannya Simon Dinitz. Walter Walter Reckless menyampaikan Contaiment Theory yang menjelaskan bahwa kenakalan remaja merupakan hasil (akibat) dari interelasi antara dua bentuk kontrol, yaitu internal (inner) dan eksternal (outer). Menurut Walter Reckless, contaiment internal dan eksternal memiliki posisi netral, berada dalam tarikan sosial (social pull) lingkungan dan dorongan dari dalam individu. F. Ivan Nye dalam tulisannya yang berjudul Family Relationsip and Delinquent Behavior (1958), mengemukakan teori kontrol tidak sebagai suatu penjelasan umum tentang kejahatan melainkan penjelasan yang bersifat kasuistis. F. Ivan Nye pada hakikatnya tidak menolak adanya unsur-unsur psikologis, di samping unsur subkultur dalam proses terjadinya kejahatan. Sebagian kasus delinkuen, menurut F. Ivan Nye disebabkan gabungan antara hasil proses belajar dan kontrol sosial yang tidak efektif.
Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari keluarga. “Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan terbatas, maka terjadilah delinkuen,” hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Menurut F. Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di sinilah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang yang diajari untuk melaku­kan pengekangan keinginan (impulse). Di samping itu, faktor internal dan eksternal kontrol harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap hukum (law-abiding).
Asumsi teori kontrol yang dikemukakan F. Ivan Nye terdiri dari :
a.       harus ada kontrol internal maupun eksternal;
b.      manusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran ;
c.       pentingnya proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi yang ade­quat (memadai), akan mengurangi terjadinya delinkuen, karena di situlah dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang ; dan
d.      diharapkan remaja mentaati hukum (law abiding).
Menurut F. Ivan Nye terdapat empat tipe kontrol sosial, yaitu :
a.       direct control imposed from without by means of restriction and punishment (kontrol langsung yang diberikan tanpa mempergunakan alat pembatas dan hukum) ;
b.      internalized control exercised from within through cons­cience (kontrol internalisasi yang dilakukan dari dalam diri secara sadar) ;
c.       indirect control related to affectional identification with parent and other non-criminal persons, (kontrol tidak langunsung yang berhubungan dengan pengenalan (identifikasi) yang berpengaruh dengan orang tua dan orang-orang yang bukan pelaku kriminal lainnya) ; dan
d.      availability of alternative to goal and values (ketersediaan sarana-sarana dan nilai-nilai alternatif untuk mencapai tujuan).
Konsep kontrol eksternal menjadi dominan setelah David Matza dan Gresham Sykes melakukan kritik terhadap teori subkultur dari Albert Cohen. Kritik tersebut menegaskan bahwa kenakalan remaja, sekalipun dilakukan oleh mereka yang berasal dari strata sosial rendah, terikat pada sistem-sistem nilai dominan di dalam masyarakat. Kemudian, David Matza dan Gresham Sykes mengemukakan konsep atau teori yang dikenal dengan technique of netralization, yaitu suatu teknik yang memberikan kesempatan bagi seorang individu untuk melonggarkan keterikatannya dengan sistem nilai-nilai yang dominan sehingga bebas untuk melakukan kenakalan.
Teknik netralisasi ini dirinci David Matza dan Gresham Sykes, sebagai berikut :
1.      Teknik yang disebut denial of responsibility, menunjuk pada suatu anggapan di kalangan remaja nakal yang menyatakan bahwa dirinya merupakan korban dari orang tua yang tidak kasih, lingkungan pergaulan yang buruk atau berasal dari tempat tinggal kumuh (slum).
2.      Teknik denial of injury, menunjuk kepada suatu alasan di kalangan remaja nakal bahwa tingkah laku mereka sesungguhnya tidak merupakan suatu bahaya yang besar/berarti. Sehingga, mereka beranggapan bahwa vandalisme merupakan kelalaian semata-mata dan mencuri mobil sesungguhnya meminjam mobil, perkelahian antara gang merupakan pertengkaran biasa.
3.      Teknik denial of the victim, menunjuk kepada suatu keyakinan diri pada remaja nakal bahwa mereka adalah pahlawan sedangkan korban justru dipandang sebagai mereka yang melakukan kejahatan.
4.      Teknik yang disebut condemnation of the comdemners, menunjuk kepada suatu anggapan bahwa polisi sebagai hipokrit, munafik atau pelaku kejahatan terselubung yang melakukan kesalahan atau memiliki perasaan tidak senang pada mereka. Pengaruh teknik ini adalah mengubah subyek yang menjadi pusat perhatian, berpaling dari perbuatan-perbuatan kejahatan yang telah dilakukannya.
5.      Teknik appeal to higher loyalties, menunjuk pada suatu anggapan di kalangan remaja nakal bahwa mereka tertangkap di antara tuntutan masyarakat, hukum dan kehendak kelompok mereka.
Kelima teknik netralisasi di atas menurut David Matza (1964), yang kemudian ditegaskan sebagai penyimpangan atas apa yang disebut sebagai bond to moral order, mengakibatkan seseorang terjerumus dalam keadaan dimana kenakalan remaja atau penyimpangan tingkah laku sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Versi teori sosial yang paling andal dan sangat populer dikemukakan Travis Hirschi (1969). Hirschi, dengan keahlian merevisi teori-teori sebelumnya tentang kontrol sosial, telah memberikan suatu gambaran jelas mengenai konsep social bond.
Travis Hirschi sependapat dengan Durkheim dan yakin bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan pelbagai ragam pandangan tentang kesusilaan/morality. Travis Hirschi berpendapat bahwa seseorang bebas untuk melakukan kejahatan atau penyimpangan tingkah lakunya. Selain menggunakan teknik netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku dimaksud, Travis Travis Hirschi juga menegaskan bahwa tingkah laku tersebut diakibatkan oleh tidak adanya keterikatan atau kurangnya keterikatan (moral) pelaku terhadap masyarakat. Teori kontrol atau sering juga disebut dengan Teori Kontrol Sosial berangkat dari suatu asumsi atau anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik kalau masyarakatnya membuatnya demikian, pun ia menjadi jahat apabila masyarakat membuatnya begitu. Pertanyaan dasar yang dilontarkan paham ini berkaitan dengan unsur-unsur pencegah yang mampu menangkal timbulnya perilaku delinkuen di kalangan anggota masyarakat, utamanya para remaja, “mengapa kita patuh dan taat pada norma-norma masyarakat” atau “mengapa kita tidak melakukan penyimpangan?” Menurut Travis Hirschi, terdapat empat elemen ikatan sosial (social bond) dalam setiap masyarakat. Pertama, Attachment adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Kalau attachment ini sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain. Kaitan attachment dengan penyimpangan adalah sejauh mana orang tersebut peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain sehingga ia dapat dengan bebas melakukan penyimpangan. Attachment sering diartikan secara bebas dengan keterikatan. Ikatan pertama yaitu keterikatan dengan orang tua, keterikatan dengan sekolah (guru) dan keterikatan dengan teman sebaya.  Kedua, Commitment adalah keterikatan seseorang pada subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen merupakan aspek rasional yang ada dalam ikatan sosial. Segala kegiatan yang dilakukan seseorang seperti sekolah, pekerjaan, kegiatan dalam organisasi akan mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Manfaat tersebut dapat berupa harta benda, reputasi, masa depan, dan sebagainya. Ketiga, Involvement merupakan aktivitas seseorang dalam subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi maka kecil kecenderungannya untuk melakukan penyimpangan. Logika pengertian ini adalah bila orang aktif di segala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan tersebut. Sehingga, ia tidak sempat lagi memikirkan hal-hal yang bertentangan dengan hukum. Dengan demikian, segala aktivitas yang dapat memberi manfaat akan mencegah orang itu melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Keempat, Belief merupakan aspek moral yang terdapat dalam ikatan sosial dan tentunya berbeda dengan ketiga aspek di atas. Belief merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut. Kepatuhan terhadap norma tersebut tentunya akan mengurangi hasrat untuk melanggar. Tetapi, bila orang tidak mematuhi norma-norma maka lebih besar kemungkinan melakukan pelanggaran.
Hubungan antara Attachment dan Commitment seringkali dinyatakan cenderung berubah-ubah secara terbalik. Menurut riset tentang delinkuen, salah satu “masalah” anak remaja dari kelas bawah adalah bahwa dia tidak mampu memutuskan keterikatan dengan orang tua dan kawan sebaya. Keterikatan yang mencegahnya mencurahkan waktu dan energi yang cukup bagi aspirasi pendidikan dan pekerjaan. Menurut riset stratifikasi, anak lelaki yang terbebas dari keterikatan ini lebih memungkinkan untuk berpindah-pindah ke kelas atas. Kedua tradisi riset demikian menyatakan bahwa orang-orang yang terikat pada conformity (persesuaian) karena alasan-alasan instrumental kurang mungkin untuk terikat persesuaian berdasarkan alasan emosional yang lainnya. Apabila mereka yang tidak terikat dikompensasikan atas kekurangan keterikatan berdasarkan komitmen untuk berprestasi dan apabila yang tidak melakukannya berubah menjadi terikat dengan orang-orang, kita bisa menyimpulkan bahwa baik attachment maupun commitment tidak akan dihubungkan dengan kejahatan. Pertautan paling jelas antara unsur/elemen commitment dan involvement nampak dalam komitmen di bidang pendidikan dan pekerjaan sertaketerlibatan dalam aktivitas-aktivitas konvensional. Kita dapat berusaha memperlihatkan bagaimana komitmen membatasi kesempatan seseorang untuk melakukan kejahatan dan dengan demikian dijauhkan dari anggapan (asumsi) banyak teori kontrol bahwa kesempatan-kesempatan seperti itu secara sederhana dan acak disebarkan melalui populasi yang diperlukan.
Hubungan elemen terakhir dari teori kontrol sosial adalah antara Attachment dan Belief, bahwa terdapat hubungan yang kurang lebih berbanding lurus antara keterikatan dengan yang lainnya dan kepercayaan dalam keabsahan moral dari peraturan yang ada. Teori kontrol mempunyai sejumlah kelemahan maupun kelebihan. Adapun kelemahannya berorientasi pada :
1.      teori ini berusaha menjelaskan kenakalan remaja dan bukan kejahatan oleh orang dewasa ;
2.      teori ini menaruh perhatian cukup besar pada sikap, keinginan dan tingkah laku yang meski menyimpang sering merupakan tingkah laku orang dewasa ;
3.      ikatan sosial (social bond) dalam teori Hirschi seperti values, belief, norma dan attitudes tidak pernah secara jelas didefinisikan ;
4.      kegagalan dalam menjelaskan peluang kejadian yang menghasilkan lebih tidaknya social bond.
Sedangkan kekuatan kontrol sosial terletak pada aspek-aspek :
1.      teori ini dapat diuji secara empiris oleh banyak sarjana seperti Wiatrowski, Griswold dan Roberts ;
2.      teori kontrol sosial merupakan salah satu teori kontemporer yang memiliki daya tarik kuat dalam dalam hal mendorong penelitian-penelitian yang berarti.